Satu bulan lagi, tepatnya 19 Juni, Pemkot Surabaya akan menutup lokalisasi terbesar di Surabaya, yaitu Dolly dan Jarak. Berbagai persiapan sudah dilakukan untuk menghilangkan tempat esek-esek legendaris itu dari Kota Pahlawan. Lalu, mau ke mana para PSK yang setiap hari melayani hidung belang tersebut?
***
RABU malam itu, jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Beberapa sudut Kota Surabaya sudah tidak menampakkan aktivitas keramaian. Terlelap dalam keheningan malam. Hanya minimarket 24 jam yang masih buka melayani orang yang membutuhkan makanan kecil.
BACA JUGA: Dari Kaki Lima Hingga Merambah ke Luar Negeri
Namun, ada bagian kecil sudut Kota Pahlawan yang masih menunjukkan kesibukan. Meski hari sudah larut, dentuman beat-beat house music masih terdengar. Musik tersebut berasal dari setiap wisma yang berderet di gang di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Gang itu adalah Gang Dolly.
Tampaknya, rencana pemkot untuk segera menutup tempat lokalisasi itu tidak disia-siakan para penikmat dan penjaja seks. Meski kondisinya tidak seramai dulu lagi.
BACA JUGA: Dua Jam Jalan Kaki untuk Cari Sinyal Internet
Jika Dolly dan Jarak ditutup, sudah ada lima tempat wisata seks di Surabaya yang ditutup pemkot. Di antaranya, Dupak Bangunsari, Tambakasri, Klakahrejo, dan Sememi. Namun, penutupan lokalisasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dikhawatirkan tutupnya tempat esek-esek itu mengakibatkan PSK menyebar ke berbagai penjuru Kota Surabaya.
Jawa Pos berupaya menggali informasi kepada wanita harapan yang setiap hari bekerja di Dolly. Sebut saja namanya Lita (bukan nama sebenarnya). Perempuan asli Banyuwangi itu sudah dua tahun bekerja sebagai PSK di salah satu wisma terbesar di Gang Dolly. Saat ditanya perihal penutupan, dia mengaku bingung soal kelanjutan hidupnya. “Aku bingung, Mas. Nggak tahu mau kerja apa,” ujarnya.
BACA JUGA: Perjuangan Kaum Mama Lestarikan Kain Tenun Ikat Lamalera
Itu berbeda dengan Yuni (bukan nama sebenarnya). Perempuan berusia 32 tahun itu mengatakan, setiap PSK yang bekerja di wisma tempat dirinya mengais rezeki dijanjikan tetap bisa melanjutkan profesinya. Namun, lokasinya tidak di Gang Dolly. ”Kami akan dipindahkan ke kota. Bahkan, ada yang akan dipindah ke luar Jawa,” jelasnya.
Kepastian itu dia dapat ketika berbicara dengan pemilik wisma tempatnya mencari uang. Menurut ibu satu anak tersebut, pimpinannya mempunyai banyak wisma. Tempat pemuas nafsu itu berada di kota-kota besar seperti di Jakarta, Batam, Bali, serta Lombok. ”Pasti kami dikirim ke sana. Sehingga, kami tidak khawatir lagi,” ujar sumber Jawa Pos itu.
Namun, lanjut dia, ada juga yang memilih tetap bekerja di Surabaya. Mereka akan bekerja di tempat-tempat hiburan seperti karaoke, diskotek, serta panti pijat plus-plus. Ada juga yang membuka praktik di kos-kosan. Yuni mengatakan, yang pindah ke panti pijat plus-plus dan karaoke itu diperkirakan cukup banyak karena hanya sedikit bos di Dolly yang mempunyai bisnis sampai luar kota.
Tempat yang banyak dituju adalah panti pijat plus-plus. Sebenarnya, izin tempat yang termasuk kategori rekreasi dan hiburan umum itu sudah diatur pemkot. Pemerintah melarang adanya praktik asusila di tempat tersebut. Misalnya, terapis yang memberikan servis sampai making love (ML). Meski regulasi sudah ketat, masih ada yang diam-diam melancarkan praktik terlarang tersebut. Itu bisa terjadi karena pengawasan pemkot lemah.
Di Surabaya, panti pijat banyak tersebar di beberapa wilayah. Panti pijat itu kini berubah menjadi tempat prostitusi terselubung. Di antaranya, di ruko Jalan Kalibokor Gubeng, ruko di dekat Terminal Bratang, ruko Kedungdoro, ruko Darmo Park, dan di Jalan Tunjungan.
Berdasar pengamatan di lapangan, sekilas panti pijat itu tidak mencurigakan. Misalnya, di kawasan Kedungdoro, ketika masuk, pengunjung disambut resepsionis yang menawarkan pijat. Pengunjung langsung diberi nomor loker untuk menyimpan pakaian.
Sebelum pijat dimulai, pengunjung bisa memilih terapis. Ada sebuah buku yang di dalamnya terdapat foto-foto perempuan. Ada sekitar 50 perempuan. Jika sudah cocok, tinggal menunjukkan foto yang dipilih kepada petugas dan menunggu di kamar. Terapis akan datang selang beberapa menit sesuai dengan pilihan.
Kamar cukup nyaman. Terdapat kasur yang ditempatkan di lantai. Kamar itu dilengkapi AC dan kamar mandi dalam. Setiap ruangan itu ditempeli tulisan dilarang berbuat asusila.
Saat dipijat, terapis memijat seluruh badan. Pemijatan tersebut berjalan sekitar 30–45 menit. Di menit-menit akhir pemijatan, pengunjung akan ditawari servis lebih oleh pemijat. Tambahan pelayanan itu cukup menggiurkan. Mulai (maaf) ”hand job” bahkan sampai making love (ML). ”Untuk ’hand job’, tarifnya Rp 200 ribu. Kalau making love (ML) Rp 500 ribu,” kata terapis tersebut.
Jika deal, terapis segera menyiapkan segalanya, termasuk membawakan kondom. Setelah ML, pengunjung akan dimandikan dan membayar. Setelah semua selesai, pengunjung keluar dari panti pijat seolah tidak terjadi apa-apa.
Lain halnya dengan panti pijat di Jalan Tunjungan. Lokasinya berada di dekat hotel ternama. Sekilas, bangunan itu tidak terlihat seperti panti pijat karena tidak ada papan nama.
Ketika masuk ke dalam gedung, pengunjung akan disajikan puluhan perempuan yang duduk di sofa. Jumlahnya sekitar 50 perempuan. Mereka mengenakan baju seksi. Pengunjung tinggal memilih, setelah itu langsung membayar Rp 750 ribu di kasir. Setelah semuanya beres, petugas akan mengantar ke kamar.
Ukuran kamar cukup besar. Di dalamnya terdapat kamar mandi dalam, spring bed, serta sofa. Sebelum pijat, pengunjung harus mandi terlebih dahulu. Setelah itu, baru dipijat. Berbeda dengan di Kedungdoro, di Jalan Tunjungan ketika memijat pelanggan, baik terapis maupun pelanggan tidak mengenakan pakaian selembar pun.
Pemijatan pun berjalan sebentar. Hanya 15 menit. Terkesan hanya sebagai syarat. Setelah itu, pengunjung bisa melakukan apa pun sesuka mereka.
Sementara itu, hal tidak jauh berbeda terdapat di panti pijat di kawasan ruko dekat dengan Pasar Burung Bratang. Dari luar panti pijat itu tidak ada yang mencurigakan. Begitu pula ketika masuk ke dalam.
Para terapis yang semuanya perempuan mengenakan pakaian yang tidak terbuka. Yakni, kemeja dan celana jins panjang. Mereka duduk berjejer di sofa sembari memainkan handphone.
Setelah memilih terapis, pelanggan bisa naik ke lantai 2 untuk mulai dipijat. ”Dicopot semua ya pakaiannya. Termasuk CD-nya juga. Biar gak pliket (lengket) nanti kena lotion,” ujar Tari (bukan nama sebenarnya), si terapis.
Pemijatan dimulai dari area punggung dan diakhiri di bagian tangan. Pemijatan tersebut berlangsung sekitar 45 menit. Namun, di sela-sela pemijatan di area tangan, Tari berusaha menawarkan servis lain. ”Sudah atau mau tambah servis yang lain? Murah kok,” ujarnya. Dia hanya memasang tarif Rp 90 ribu untuk pemijatan.
Namun, perempuan 26 tahun itu memasang tarif Rp 300 ribu untuk servis all in. Yakni, layanan pijat sekaligus bercinta. Berbeda dengan tempat lainnya, pembayaran dilakukan langsung antara pelanggan dan terapis. ”Terima kasih ya, kapan-kapan datang lagi,” ucap Tari kepada pelanggan.
Hanya, hingga kini praktik terselubung itu luput dari perhatian penegak perda. Meski Kasatpol PP Irvan Widiyanto mengatakan terus memantau tempat hiburan di Surabaya untuk mengantisipasi migrasi PSK Dolly dan Jarak pasca penutupan. ”Bahkan, kami sering melakukan razia bersama tim RHU di tempat-tempat pijat,” jelasnya.
Irvan mengatakan, selain tempat pijat, kos-kosan sering dijadikan ajang prostitusi. Dia mencontohkan kos-kosan di daerah sekitar Dolly. Petugas sering mendapati pasangan kumpul kebo.
Menurut dia, hal itu disebabkan belum ada perda yang mengatur kos-kosan. Selama ini kos-kosan hanya bisa diawasi RT dan RW setempat. ”Pastinya kami juga sering merazia di kos-kosan,” paparnya. (aph/fim/jun/dor/c6/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Pasar Wulandoni, Pasar Barter di Nusa Tenggara Timur
Redaktur : Tim Redaksi