Dengan para dokter senior meninggal karena COVID-19, sekarang dokter muda dan mereka yang baru lulus menjadi sarjana kedokteran menjadi garda terdepan dalam penanggulangan pandemi.
Di sebuah rumah sakit di Jakarta, dokter Amira* sudah bekerja melebihi batas, namun pasien yang positif COVID terus berdatangan ke unit gawat darurat tanpa henti,
BACA JUGA: Kisah Para Pengusaha Restoran Indonesia Mencoba Bertahan di Tengah Lockdown Sydney
"Ketika masuk malam, rasanya pasien datang terus menerus tanpa henti," katanya.
Dokter muda berusia 30 tahun tersebut berbicara dengan ABC dengan nama samaran, karena khawatir dengan masa depannya sebagai dokter karena berbicara dengan media.
BACA JUGA: Bendera Putih Bukan Lagi Tanda Kekalahan, Tapi Menjadi Simbol Persatuan di Malaysia Saat Lockdown
"Di ruang untuk pasien bukan COVID, tidak jarang ditemukan bahwa kondisi pasien menurun, dan ketika dilakukan tes swab mereka positif," katanya
Keadaan ini terjadi di banyak rumah sakit di Indonesia, di mana kasus hari Selasa mencapai rekor baru yaitu 47.899 orang.
BACA JUGA: Pemerintah Harus Fokus Pada Penanggulangan Pandemi dan Batalkan Revisi PP 109
Dengan sistem layanan kesehatan yang semakin kewalahan menangani peningkatan kasus, para dokter muda dan sarjana kedokteran yang baru lulus sekarang menjadi garda depan untuk memerangi COVID, karena banyak dokter senior yang menjadi korban.
"Semua kita harus menangani pasien COVID," kata Debryna Dewi Lumanauw seorang dokter muda yang bekerja di Jakarta.
"Indonesia sekarang ini penuh dengan COVID." Dokter di Indonesia meninggal hampir setiap minggu
Menurut laporan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) per tanggal 5 Juli 2021, sedikitnya sudah 434 dokter yang meninggal karena COVID.
Lima diantaranya adalah dokter residen, mereka yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi seorang dokter spesialis.
Beberapa hari setelah laporan IDI muncul seorang dokter residen lagi meninggal.
Aliy Akbar Al Busani, adalah dokter residen berusia 29 tahun, yang sedang belajar untuk menjadi spesialis kandungan di Universitas Airlangga di Surabaya, yang meninggal karena COVID hari Kamis.
Ayah dokter perempuan ini - yang juga seorang dokter - meninggal tiga hari sebelumnya karena COVID, sementara saudara perempuan Dr Al Busani juga positif mengidap virus.
Menurut Dr Debryna yang juga berusia 29 tahun, menangani pasien di rumah sakit semakin banyak memakan korban para dokter.
"Seluruh teman-teman saya sudah terkena. Semuanya sakit atau pernah mengalami COVID. Semua orang yang bekerja dengan kami juga bertumbangan.
"Kami harus terus melanjutkan tugas kami namun kalau kami bekerja melebihi kapasitas kami, ini sebenarnya lebih berbahaya.
"Juga ini membuat kami bisa menular keluarga, orang-orang yang tinggal bersama di rumah," kata Dr Debryna.
Amira mengatakan ini menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan karena 'hampir setiap minggu selalu ada berita ada dokter lagi yang meninggal".
"Namun juga banyak yang juga mulai kebal dan lelah dengan berita COVID," katanya.
Andi Khomeini Takdir Haruni, ketua Persatuan Dokter Muda Indonesia mengatakan kecemasan dan stress karena pandemi ini dirasakan di seluruh provinsi, khususnya di kota-kota besar.
"Tentu saja kami berduka setiap kali kami mendengar adanya salah satu sejawat kami dokter yang meninggal," katanya.
"Kadang kami merasa depresi, kelelahan, dan beban kerja kami besar sekali. Namun kami terus saling mendukung.
"Kami berdoa mudah-mudahan pandemi ini segera bisa terkontrol."
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter di Indonesia adalah 4,65 orang per 10 ribu orang dibandingkan 37,6 orang di Australia.
"Indonesia tidak bisa menangani pandemi seperti di Singapura, Thailand, karena negara-negara tersebut memiliki sistem layanan kesehatan yang lebih baik," kata Jane Soepardi, epidemiolog yang ada di Jakarta.
Walau sudah ada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan larangan ke luar rumah bagi warga di Jawa dan Bali, Dr Jane Soepardi mengatakan masih banyak anggota masyarakat yang tidak mematuhi larangan tersebut.
"Aturan sudah ada namun penerapannya sangat lemah," katanya. Pemerintah memberikan tunjangan kepada dokter muda
Di awal-awal pandemi, banyak dokter muda di Indonesia yang bekerja di garda terdepan menangani COVID bahkan tidak mendapat bayaran.
Dokter residen yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi spesialis juga umumnya tidak dibayar karena sedang melanjutkan pendidikan.
Padahal mereka sudah membayar mahal untuk bisa masuk ke universitas untuk sekolah lagi sambil melakukan praktik kerja di rumah sakit.
Namun selama pandemi banyak dokter senior dan para dosen kedokteran yang mendesak pemerintah untuk membayar para dokter muda dan dokter residen, dan mereka yang bekerja menangani COVID mendapat tunjangan.
Di bulan Mei, pemerintah mengumumkan para dokter ini akan mendapatkan tunjangan sebanyak Rp12,5 juta setiap bulannya.
"Ini tidak akan bisa membangkitkan kembali mereka yang sudah menjadi korban namun ini adalah bentuk penghargaan dari pemerintah," kata juru bicara Departemen Kesehatan Trisa Wahjuni Putri.
Dr Jane Soepardi bahkan bahkan mahasiswa kedokteran sekarang dikerahkan untuk bekerja di rumah sakit, bahkan sebelum mereka lulus menjadi sarjana kedokteran.
"Mereka dikerahkan untuk membantu rumah sakit yang kewalahan khususnya di Jakarta," katanya.
"Mereka tidak dipaksa untuk bekerja, namun karena mereka nantinya mau menjadi dokter residen dan spesialis, maka mereka takut untuk menolak." Vaksin Moderna untuk pekerja kesehatan
Amerika Serikat sudah mengumumkan bahwa tiga juta dosis vaksin Moderna sudah tiba di Indonesia minggu ini, dengan vaksin ini akan diperuntukkan bagi para pekerja kesehatan dengan vaksin penguat dosis ketiga.
Paling sedikit 10 dari 26 dokter yang meninggal di bulan Juni sudah mendapatkan vaksin Sinovac asal Tiongkok yang sudah mendapat persetujuan penggunaannya oleh WHO.
"Dengan munculnya varian baru, lakukan vaksinasi sebanyak mungkin dan secepat mungkin adalah hal yang penting," kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Y Kim.
Amerika Serikat juga sudah menjanjikan satu juta vaksin Moderna tambahan untuk Indonesia yang disalurkan lewat program COVAX dari WHO.
Petugas kesehatan juga melaporkan kurangnya persediaan oksigen, APD dan peralatan lain.
"Saya dan beberapa teman membawa APD sendiri sehingga kami bisa mengganti APD setiap hari," kata Amira.
Australia bulan ini sudah mengumumkan pengiriman peralatan medis ke Indonesia termasuk 1000 ventilator, dan 700 oksigen konsentrator, dan juga 2,5 juta vaksin AstraZeneca, yang akan sampai dalam beberapa bulan ini.
Namun melihat kurangnya pekerja kesehatan di Indonesia, beberapa orang mengatakan tenaga kesehatan tambahan juga diperlukan.
"Sistem kesehatan di tingkat kabupaten lemah sekali," kata Dr Jane Soepardi.
"Kami memerlukan bantuan teknis. Kami memerlukan orang datang dari Australia, dari Amerika Serikat - untuk membantu di tingkat daerah."
Bagi Dr Debryana yang dibutuhkan oleh para dokter di Indonesia sekarang ini lebih sederhana.
"Yang kami butuhkan sekarang ini adalah untuk bisa tidur dengan cukup. Kami sudah lama tidak cukup tidur," katanya.
*Nama dokter Amira diganti untuk melindungi identitasnya.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Apakah Obat yang Sering Disebutkan di Grup Whatsapp Benar-benar Bisa Menyembuhkan COVID-19?