Parigi Moutong

Senin, 14 Februari 2022 – 18:53 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kekerasan merantak dengan cepat. Hanya selang sehari setelah kekerasan di Wadas, Purworejo, kekerasan terjadi lagi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Ratusan warga yang memprotes tambang emas di wilayah itu bentrok dengan polisi, dan satu orang warga tewas terkena peluru tajam di bagian perut, Ahad (13/2). Puluhan lainnya ditahan polisi.

BACA JUGA: Polisi Sudah Memulangkan 59 Warga yang Berdemo Menolak Tambang di Parigi Moutong

Ada benang biru yang menyambungkan dua kasus di dua tempat yang terpaut jarak yang jauh itu.

Warga memprotes keberadaan tambang yang dianggapnya tidak memberi manfaat kepada warga, dan justru membawa akibat kerusakan lingkungan.

BACA JUGA: Oknum Polisi Tembak Warga di Parigi Moutong, Tim Khusus Diterjunkan, Perintah Kapolri Tegas

Ada kemiripan pola gerakan perlawanan rakyat. Ada upaya untuk menolak pembangunan yang tidak memihak rakyat. Kemudian ada demonstrasi yang awalnya kecil, lalu kemudian berkembang menjadi makin besar karena tidak adanya respons yang memadai.

Puncaknya adalah demonstrasi besar yang melibatkan ratusan orang. Ketika kemudian situasi memanas di lapangan, bentrokan tidak terhindarkan antara pasukan pengamanan dengan massa demonstran. Korban pun jatuh dan nyawa melayang.

BACA JUGA: Irjen Ferdy Sambo Pastikan Hukuman Berat buat Kapolsek Bejat di Parigi Moutong

Kekerasan semacam ini makin sering terjadi, dan kita akan melihatnya sebagai sesuatu yang rutin. Mereka yang melakukan kekerasan itu akan ditindak. Polisi sudah menegaskan akan menindak anggotanya yang melakukan penembakan.

Namun, hal itu tidak akan menyelesaikan pokok pangkal persoalan, yaitu kekerasan yang makin rutin dan dianggap sebagai bagian dari risiko tugas.

Anggota polisi yang melakukan kekerasan itu mungkin berpikir bahwa ia melakukannya demi tugas negara. Ketika harus melakukan kekerasan, baik terpaksa maupun tidak terpaksa, maka hal itu dilakukan karena darma kepada negara.

Kekerasan yang terjadi terus-menerus dan dilakukan atas nama tugas menumbuhkan rasa banalitas terhadap kekerasan dan kejahatan.

Banalitas adalah sikap yang menganggap biasa terhadap kekerasan dan kejahatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut banal bermakna kasar, tidak elok, biasa sama sekali.

Dalam sejarah dunia, sikap banal terhadap kekerasan dan kejahatan melahirkan tragedi besar yang menelan korban ratusan ribu dan bahkan jutaan nyawa manusia. Wartawan dan filsuf Jerman, Hannah Arendt meliput pengadilan terhadap tokoh Nazi, Adolf Eichmann yang diadili di Jerusalem, Israel, pada 1961.

Eichmann diyakini bertanggung jawab terhadap pembunuhan masal terhadap orang-orang Yahudi di Eropa semasa kekuasaan Nazi di bawah Hitler. Eichmann didakwa melakukan eksekusi pembunuhan berencana secara masif, langsung, maupun melalui pembunuhan di kamar-kamar beracun.

Arendt melaporkan proses pengadilan itu di Majalah The New Yorker dan kemudian menerbitkannya menjadi buku ‘’Eichmann in Jerusalem’’. Dari buku itulah lahir teori banalitas kejahatan yang sampai sekarang diakui relevansinya dengan berbagai fenomena kekuasan kontemporer.

Atas kejahatannya itu Eichmann dijatuhi hukuman mati. Eichmann menolak segala dakwaan dan sama sekali tidak merasa bersalah atas kejahatannya. Ia merasa bahwa Israel tidak punya juridiksi untuk mengadilinya, dan ia hanya bertanggung jawab kepada pimpinannya, yaitu Adolf Hitler.

Eichmann merasa bahwa ia tidak perlu bertanggung jawab kepada hukum atau siapa pun, karena ia menjalankan tugas negara. Eichmann hanya bertanggung jawab kepada The Fuhrer Hitler sebagai pengejawantahan negara. Jerman di bawah fasisme Nazi menerapkan sistem negara integralistik yang tidak mengakui hak-hak individu dan menyerapnya menjadi hak kolektif atas nama negara.

Arendt kaget melihat ketenangan Eichmann selama sidang. Ia jauh dari kesan brutal dan jahat. Sebaliknya, ia terlihat sebagai pria yang penuh dengan martabat dan tipe ayah idaman keluarga.

Ia berjalan dengan penuh martabat ketika digiring menuju tiang gantungan yang jaraknya 50 meter dari ruang tahanannya.

Bahkan di bawah tiang gantungan pun Eichmann masih tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa dia tidak bersalah. Dia melakukan kejahatan itu atas nama darma kepada negara dan hanya akan mempertanggungjawabkannya kepada negara.

Eichmann ditangkap di pinggiran Kota Buenos Aires, Argentina, pada 11 Mei 1960 malam, diterbangkan ke Israel sembilan hari kemudian, diadili di Pengadilan Distrik di Jerusalem pada 11 April 1961.

Eichmann didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, membunuh orang-orang Yahudi, dan kejahatan perang selama rezim Nazi pada periode Perang Dunia II.

Enam psikiater yang dihadirkan memastikan Eichmaan normal. Arendt menjelaskan keseluruhan pandangan psikologis, sikap Eichmann terhadap istrinya, anak-anaknya, ayahnya, ibunya, saudara-saudaranya, dan teman-temannya. Tidak ada di antara mereka yang menggambarkannya sebagai pria kejam kelas super-psikopat. Di mata kolega Eichmann adalah laki-laki ideal.

Dari pengadilan itu terungkap bahwa Eichmann melakukan semua kejahatannya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Arendt yang keturunan Yahudi bergidik mendengar semua pengakuan Eichmann, yang menganggap bahwa semua kejahatan yang dilakukan adalah hal yang biasa saja.

Tak ada rasa menyesal sedikit pun, tak ada rasa bersalah sedikit pun. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dia lakukan dia yakini sebagai tindakan negara, bukan tindakan diri pribadinya sendiri. Dia yakin hanya menjalankan tugas negara yang dilindungi oleh undang-undang.

Benar atau salah negara saya. Right or wrong my country, menjadi semboyan untuk membela negara-negara dengan cara apa pun. Orang-orang nasionalis, liberalis, maupun fasis, menerjemahkan ungkapan itu dengan caranya masing-masing.

Kejahatan yang dilakukan tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam selama kurun waktu 20 tahun sejak 1955 sampai 1975 adalah bagian dari pembelaan terhadap kepentingan negara. Pembunuhan orang-orang sipil satu desa dengan pembakaran bom napalm adalah bagian dari tugas negara.

Kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengerikan menjadi sesuatu yang biasa, karena dilakukan atas nama negara. Benar atau salah tidak menjadi pertanyaan, sepanjang masih dijustifikasi atas nama kepentingan negara.

Dalam tradisi pewayangan, darma kepada negara melahirkan kekerasan skala masif dalam Perang Barata atau Baratayuda. Sesama saudara saling membunuh, sesama saudara saling mengkhianati dengan berbagai intrik, semuanya dilakukan atas nama darma kepada negara.

Kisah epik pewayangan menampilkan tokoh-tokoh nasionalis pembela negara yang mempunyai motif yang berbeda-beda. Dalam kisah Baratayuda Adipati Karna, seorang ksatria yang jujur dan berintegritas, membela Kerajaan Astina yang zalim terhadap Pandawa.

Adipati Karna seorang ksatria profesional yang tangguh dan sakti mandraguna tidak ada tanding. Satu-satunya ksatria yang bisa menandingi Karna adalah Arjuna yang masih bersaudara.

Arjuna menolak bertarung melawan Karna, tetapi Batara Kresna meyakinkan Arjuna bahwa darma seorang ksatria harus dilaksanakan dengan risiko apa pun.

Kresna bersedia menjadi kusir Arjuna dalam perang saudara melawan Karna. Panah Pasopati Arjuna akhirnya menembus leher Karna yang gugur ke bumi dengan tersenyum tanpa dendam atau sakit hati. Dua ksatria saling membunuh dengan alasan masing-masing.

Dalam epik Ramayana, Raksasa Kumbakarna membela kakaknya, Rahwana, yang menculik Dewi Sinta, istri Rama. Sedangkan Wibisana, adik kandung Kumbakarna dan Rahwana memilih menyeberang ke kubu Rama dan memerangi negara dan saudaranya sendiri.

Kumbakarna mati ditembus panah Rama. Ia mati sebagai pahlawan negara. Wibisana membantu Rama menaklukkan negara Alengka yang zalim. Rama membunuh Rahwana dan membebaskan dewi Sinta. Wibisana menjadi pahlawan kebenaran dengan mengkhianati negaranya.

Ben Anderson mengaitkan wayang dengan politik Orde Baru dengan mengatakan bahwa ABRI di masa Orde Baru diberi doktrin wayang oleh Soeharto.

Dengan doktrin itu ABRI merasa mendapatkan pembenaran atas kejahatan yang dilakukan dalam bentuk represi terhadap rakyat. Di bawah Soeharto, ABRI mengalami banalitas kekerasan dan menganggap kejahatan yang dilakukannya adalah bagian dari darma terhadap negara.

Joko Widodo mengadopsi filosofi kepemimpinan Jawa yang mirip dengan Soeharto. Di bawah Jokowi sekarang tanda-tanda banalitas kekerasan itu juga mulai terlihat jelas. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler