Partai Ummat & Politik Identitas demi Martabat

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 15 Februari 2023 – 18:58 WIB
Amien Rais dan logo Partai Ummat. Foto: screenshot akun Amien Rais Offical di YouTube.

jpnn.com - Politik identitas menjadi kosakata negatif karena labelisasi dan stigmatisasi yang masif dalam beberapa tahun terakhir. Politik identitas dihindari seperti penyakit sampar yang mematikan.

Elite-lite politik, termasuk Presiden Joko Widodo, tidak pernah lelah mengingatkan publik menghindari politik identitas dalam setiap perhelatan politik.

BACA JUGA: Pak Bill dan Pak Amien

Suara pemilih muslim sangat besar di Indonesia. Memainkan isu agama sebagai bagian dari identitas akan sangat mudah menarik simpati.

Partai politik apa pun pasti ingin menggaet potensi suara pemilih muslim. Namun, karena sudah telanjur ada labelisasi dan stigmatisasi negatif terhadap politik identitas, maka parpol-parpol tidak berani terang-terangan memainkannya.

BACA JUGA: Setan Besar

Partai Ummat yang dibesut oleh Amien Rais memilih jalan berbeda. Seolah menentang arus, Partai Ummat secara terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai parpol yang mengusung politik identitas.

Dalam perhelatan nasional di Jakarta pekan ini, Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengumumkan bahwa parpolnya beridentitas politik Islam.

BACA JUGA: Pemilu Kardus

Politik identitas mendapat label negatif dengan semena-mena. Politik identitas soolah-olah barang haram yang tidak mempunyai tempat dalam konstelasi politik di sebuah bangsa.

Politik identitas menjadi fenomena umum yang terjadi di banyak negara. Fenomena ini tidak muncul tanpa sebab.

Ia muncul sebagai reaksi terhadap berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di sebuah komunitas sosial. Ketika sebuah kelompok dicerabut kehormatan dan martabatnya oleh kelompok yang dominan, maka akan muncul reaksi dan gerakan untuk mempertahankan identitas kelompok itu.

Ilmuwan politik Amerika Serikat, Francis Fukuyama, menyatakan bahwa politik identitas lahir sebagai sebuah gerakan yang menuntut pengakuan terhadap martabat dan kehormatan. Setiap orang dan setiap kelompok punya identitasnya masing-masing, dan identitas menjadi bagian dari martabat yang harus dihormati.

Seorang tukang sayur yang berusaha mempertahankan martabatnya melakukan tindakan bakar diri untuk memprotes penindasan yang dialaminya. Untuk mempertahankan martabat diri, seseorang berani melakukan tindakan yang keras.

Fukuyama mengutip kisah pedagang sayur di Tunisia bernama Mohamed Bouaazizi. Pada Desember 2010, Bouazizi terkena razia satpol PP.

Gerobak sayur dan alat penimbang elektronik sederhana miliknya disita satpol PP perempuan bernama Faida Hamdi. Ketika Bouazizi memprotes, ia dimaki-maki di depan umum dan mukanya diludahi.

Pedagang sayur itu merasa sangat terhina, apalagi yang meludahinya adalah seorang wanita. Dalam masyarakat patrimonial Timur Tengah, dipermalukan seorang wanita adalah penghancuran harga diri yang tak tertanggungkan.

Keesokan harinya Bouazizi mendatangi kantor gubernur untuk meminta kembali gerobak dan alat timbangnya. Dia tidak dilayani dengan baik dan bahkan diusir keluar.

Di depan pintu kantor gubernur Bouazizi sudah menyiapkan bensin. Ia menguyur tubuhnya dan membakar diri.

"Anda ingin saya mencari nafkah dengan cara bagaimana?" teriak Bouazizi ketika api sudah melalap seluruh tubuhnya.

Gambar Bouazizi yang terbakar menyebar ke seluruh negeri dan memicu demonstrasi dan kerusuhan luas. Tidak sampai sebulan Zein Al Abidine bin Ali, pemimpin otoriter Tunisia, mengundurkan diri.

Aksi Bouazizi kemudian memicu gerakan luas di banyak negara Timur Tengah dan melahirkan gerakan The Arab Spring atau Musim Semi Arab yang menjatuhkan banyak pemerintahan diktatorial di Mesir, Libia, dan Syria. Tindakan nekat Bouazizi dilakukan untuk menegaskan martabat dan identitasnya.

Fukuyama menyebut sumber identitas sebagai ‘thymos’, yaitu bagian dari jiwa yang membutuhkan pengakuan dan martabat. Thymos mempunyai dua bentuk, yaitu "isothymia", tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan ‘megalothymia’ atau keinginan untuk diakui sebagai golongan yang lebih unggul.

Menurut Fukuyama, dua keinginan yang terkesan berlawanan itu bisa  saja berjalan seiring. Misalnya, seorang pemimpin yang ingin tampil di depan dan diakui kekuasaannya secara mutlak (megalothymia) menggerakkan pengikutnya dengan memainkan sentimen berdasarkan kebencian dan perasaan tidak dihargai dari kelompok tersebut (isothymia).

Hitler dan Nazi Jerman memainkan politik identitas perpaduan antara isothymia dan megalothymia. Hitler ingin ras Arya dihormati sebagai ras paling unggul dan pada saat yang sama memainkan politik kebencian terhadap ras Yahudi.

Donald Trump di Amerika Serikat merasa ras kulit putih Protestan adalah ras terbaik yang berhak menguasai Amerika. Karena itulah ras lain dari kulit hitam dan kulit berwarna harus menjadi warga negara kelas dua.

Perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok tertentu akan memicu tuntutan terhadap pemenuhan martabat dalam bentuk isothomya.

Sebaliknya, sikap sok kuasa dan adigang adigung yang melahirkan sikap megalothymia yang memaksakan dominasi akan menghadapi tentangan dari kelompok yang didominasi.

Menghadapi kesewenang-wenangan itu kelompok yang dizalimi akan menunjukkan identitas untuk memperkuat martabat dan muruah. Bagi orang lain sikap bermartabat dan bermuruah itu secara serampangan disebut sebagai bentuk politik identitas.

Dalam hal agama yang dipolitisasi, Fukuyama juga menyebut islamisme di awal abad 20 sebagai tuntutan atas pengakuan status khusus untuk Islam sebagai dasar komunitas politik. Ia melihat fenomena nasionalisme maupun islamisme muncul sebagai ekspresi identitas kelompok yang merespons modernisasi dan perubahan sosial serbacepat yang merusak bentuk-bentuk komunitas yang mapan.

Fukuyama menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari politik identitas, sebab politik identitas merupakan respons alami dan tak terhindarkan dari ketidakadilan yang terjadi.

Namun, politik identitas berubah menjadi masalah saat identitas ditafsirkan atau ditegaskan dengan cara tertentu, misalnya tindakan kekerasan seperti terorisme, memisahkan diri seperti separatisme, atau mengganti dasar negara dengan agama.

Di Amerika Serikat, politik identitas menguat karena terjadi ketidakadilan ekonomi dan keterancaman kultural. Masyarakat konservatif Amerika merasa bahwa liberalisme ekonomi mengancam kepentingan nasional, antara lain, karena mengalirnya imigran ke Amerika.

Menghadapi ketimpangan ekonomi dan kultural ini masyarakat konservatif Amerika mendapatkan perlindungan dalam identitas keagamaan. Orang-orang konservatif memilih Partai Republik dan orang-orang liberal memilih Partai Demokrat.

Masyarakat Amerika terbelah menjadi dua, baik ketika Donald Trump berkuasa, maupun sekarang di bawah Joe Biden.

Solusi dari menguatnya politik identitas ini, menurut Fukuyama, bukanlah meninggalkan gagasan identitas, tetapi mendefinisikan sebuah identitas nasional yang lebih besar dan lebih integratif serta memperhitungkan keragaman yang ada.

Diperlukan kebijakan yang lebih inklusif yang lebih merangkul untuk bisa mengendalikan politik identitas yang negatif. Kebijakan yang memecah belah justru memperburuk politik identitas.

Di Indonesia kebijakan nasional cenderung memecah belah dan menempatkan politik Islam sebagai musuh bersama. Gaya kepemimpinan megalothymia ini memunculkan perlawanan isothymia dalam bentuk politik identitas Islam.

Politik identitas Islam di Indonesia adalah upaya untuk mendapatkan kembali martabat dan muruah Islam yang telah dimarginalisasi. Islam memainkan peran besar dalam membentuk identitas nasional.

Islam memainkan peran besar dalam proses kemerdekaan. Islam memainkan peran penting untuk memobilisasi kekuatan rakyat menghadapi penjajahan.

Perang Diponegoro, Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Aceh, dan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah contoh bagaimana Islam menjadi identitas yang mempersatukan untuk melawan penjajah.

Namun, ada upaya megalothymia untuk menghapus peran sejarah itu. Inilah yang memicu perlawanan dan memunculkan kekuatan identitas.

Bangsa Indonesia sudah sepakat bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bisa mengakomodasi kebinekaan. Pancasila menjadi pijakan bersama bahwa Indonesia bukan negara yang berdasar Islam, tetapi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi payung dari empat sila lainnya.

Partai politik yang beridentitas Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Labeling dan stigmatisasi itu harus dihapuskkan, dan Partai Ummat berada di garis depan untuk mengembalikan martabat dan muruah Islam dalam lanskap politik Indonesia. (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tsamara


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler