Pasal Karet di UU ITE Kerap Memakan Korban, Segera Cabut!

Jumat, 08 Februari 2019 – 08:05 WIB
Pasal karet di UU ITE sudah kerap memakan korban. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah pihak kembali menyoroti UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Beberapa pihak menilai ada pasal karet yang hasrus dicabut dari aturan tersebut.

Misalnya pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 yang kerap memakan korban. Selain dinilai sebagai pasal karet, ketiga pasal itu juga dianggap pasal duplikasi.

BACA JUGA: Kubu Prabowo: Revisi UU ITE untuk Lindungi Rakyat dari Penguasa

Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyampaikan bahwa mencabut pasal 27, pasal 28, serta pasal 29 dalam UU ITE merupakan salah satu catatan penting.

Pria yang akrab dipanggil Eras itu pun membeberkan, ketiga pasal itu merupakan duplikasi aturan yang sudah tertuang dalam KUHP. ”Seperti pasal 27 ayat (1) dengan BAB XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan pasal 281 – pasal 283,” terang dia.

BACA JUGA: Jokowi Setuju Merevisi Pasal Karet Dalam UU ITE

Selain itu, juga masih ada pasal 27 ayat (2) yang dinilai merupakan duplikasi BAB XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan pasal 303 – 303 bis, pasal 27 ayat (3) duplikasi BAB XVI Penghinaan pasal 310 dan pasal 311, pasal 28 ayat (1) dalam UU ITE dinilai sebagai duplikasi pasal 11 dan pasal 17 juncto pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. Juga pasal 29 ayat (1) yang menjadi duplikasi BAB XXIII Pemerasan dan Pengancaman pasal 368 – 369.

Menurut Eras, seharusnya tidak ada pasal duplikasi dalam UU ITE. Apa lagi pengaturan dalam pasal – pasal tersebut tidak lebih baik ketimbang ketentuan yang sudah termuat dalam KUHP. ”Celakanya rumusan dalam UU ITE sangat buruk dan tidak jelas,” ungkap dia.

BACA JUGA: Jenguk Ahmad Dhani, Sandi Berjanji Bakal Rombak UU ITE

Sehingga pasal – pasal itu rentan dipakai untuk mengkriminalisasi. Akibatnya, ICJR memandang kerap terjadi pelanggaran hak asasi manusia akibat pasal – pasal itu.

Lebih lanjut, Eras juga menyampaikan bahwa keberadaan pasal duplikasi dalam UU ITE juga menjadi masalah. ”Apabila tindak pidana tersebut sudah bisa dikenakan menggunakan pasal – pasal dalam KUHP maka pengaturan ulang dalam UU ITE mengakibatkan ketidakpastian hukum,” jelasnya.

Untuk itu, ICJR mendorong agar UU ITE direvisi kembali. Sebab, melalui revisi itu pasal – pasal keret dan duplikasi bisa dicabut.

Berdasar keterangan Eras, catatan lain yang juga penting bagi ICJR terkait mekanisme izin pengadilan dalam upaya paksa aparat penegak hukum serta pengaturan blocking dan filtering konten. Selain itu, mereka juga memberikan beberapa rekomendasi terkait UU ITE.

Yakni mengevaluasi UU ITE dari segi subatansi serta implementasi. ”Jika rumusannya masih karet dan multitafsir, maka dapat digunakan rumusan lama yang terdapat di KUHP,” imbuhnya.

Tentu saja dengan beberapa penyesuaian. Kemudian, pengambil kebijakan harus menggunakan pendekataan multi pemangku kepentingan dalam proses perumusan revisi UU ITE ke depan, Menempatkan hak mengakses internet sebagai bagian dari hak asasi manusia seperti hak asasi manusia lainnya.

”Sehingga seluruh perlindungan hak asasi seseorang juga harus menjadi acuan dan pijakan dalam pengambilan kebijakan terkait,” ungkap Eras.

Terakhir, aparat penegak hukum harus lebih hati – hati dalam memandang suatu kasus serta tidak bertindak secara subjektif. Sebab, ICJR menilai itu merupakan pelanggaran terhadap hak atas fair trial yang dimiliki oleh orang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal tersebut dinilai penting, sambung Eras, mengingat masih cukup banyak pasal karet dalam UU ITE yang berlaku saat ini.

Sementara itu Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menuturkan kebijaksanaan hakim bisa mencegah tudingan pasal karet itu. Pria yang baru mendapatkan cucu ke-15 itu menuturkan proses penegakan hukum hingga vonis atas kasus di UU ITE tidak begitu saja keluar. Tetapi melewati jaksa dan hakim dalam proses pengadilan.

’’Jadi yang harus menafsirkan itu semua (supaya, Red) jangan jadi (pasal, Red) karet ya hakim,’’ katanya di kantor Wapres, Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).

JK menjelaskan adalam penegakan hukum terkait UU ITE tersebut, hakim yang memutuskan apakah sesuai atau tidak. ’’Jadi kita percayakan hakim lebih bijaksana menghadapi itu,’’ tuturnya.

Menurut JK orang yang dilaporkan dan merasa tidak salah, pasti mengatakan ada pasal karet. Sebaliknya orang yang melaporkan pelanggaran hukum terkait UU ITE, mengatakan tidak ada pasal karet.

Selain adanya pasal karet, ada tudingan bahwa UU ITE ditegakkan untuk kepentingan kekuasaan. JK lantas menepisnya. ’’Saya kira tidak juga,’’ katanya. Dia mengatakan setiap orang, meskipun bukan dari unsur pemerintah atau kekuasaan, bisa melapor atas kasus UU ITE. (syn/wan)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usai Kunjungi Ahmad Dhani, Sandiaga Uno Pengin Revisi UU ITE


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler