jpnn.com, JAKARTA - Pasal 'sakti' yang bisa menjerat pelaku pembakar lahan dan hutan, mendapat perlawanan dari kekuatan korporasi. APHI dan GAPKI mengajukan Judicial Review (JR) terkait Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU Lingkungan Hidup ke Mahkamah Konstitusi.
Lalu bagaimana pandangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)?
BACA JUGA: Prihatin Isu Persekusi, Kugapai Deklarasikan Anti-Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan
Berikut penjelasan lugas Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani terkait JR tersebut dalam keterangan persnya yang dikeluarkan Kamis (8/6).
1. Apa pandangan terhadap uji materi Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU Lingkungan Hidup yang saat ini tengah diuji materi di MK?
BACA JUGA: Kemenkumham Punya Dua Lapas Baru Khusus Perempuan dan Anak
a. Judicial Review (JR) yang dilakukan oleh APHI dan GAPKI ini merupakan upaya untuk melepas tanggung jawab, dengan mengkambing-hitamkan masyarakat atas ketidakmampuan korporasi sebagai pemegang izin, dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di kawasan konsesi mereka.
Seolah-olah kebakaran hutan dan lahan yang meluas selama ini terjadi di konsesi korporasi karena adanya praktek kearifan masyarakat lokal (Pasal 69 ayat 2).
BACA JUGA: DKPP Berhentikan 9 Penyelenggara Pemilu
Korporasi sudah diberi keistimewaan untuk mengelola puluhan ribu hingga jutaan hektar kawasan hutan, karena korporasi dianggap mempunyai sumberdaya dan kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan di konsesi, termasuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.
Seharusnyalah korporasi mampu mencegah dan mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi mereka.
b. Pengawasan dan penindakan yang kami lakukan menunjukkan bahwa meluasnya kebakaran hutan di konsesi selama ini dikarenakan korporasi tidak serius dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Bayangkan ada satu konsesi lahan yang terbakar lebih dari 80 ribu Ha, bandingkan luas Jakarta sekitar 60 ribu hektar.
Seharusnya sebagai pemegang izin, korporasi wajib mempunyai kemampuan dan siap untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran di konsesi mereka.
Patut ada yang menduga bahwa kebakaran yang meluas ini disengaja, untuk menghemat biaya penyiapan lahan (land clearing) dan peningkatan kualitas tanah.
c. Meluasnya kebakaran yang terjadi selama ini dikarenakan korporasi tidak mempunyai sarana, prasarana dan SDM yang memadai. Agar tidak terulang, dalam dua tahun ini di era Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya, telah diterapkan sanksi administratif, perdata dan pidana dengan sangat tegas.
Ada 42 korporasi pemegang izin kita kenakan sanksi administratif mulai dari paksaan pemerintah, pembekuan dan pencabutan izin, dan ada 115 korporasi diberikan peringatan untuk melengkapi sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulang kebakaran. Serta ada 10 korporasi yang kita gugat perdata, dan 26 korporasi yang dipidanakan.
d. Penegakan hukum harus dilakukan secara serius, kalau kita biarkan maka kejahatan korporasi terhadap kebakaran hutan dan lahan ini terus terjadi.
Masyarakatlah yang akan jadi korban, terus-menerus merasakan penderitaan seperti yang kita rasakan pada tahun 2015.
Kalau ini terjadi dimana keadilan lingkungan dan sosial bagi masyarakat kita. Yang lebih menderita khususnya anak-anak, ibu hamil dan lansia, mereka rentan apabila terpapar oleh asap. Kegiatan-belajar dan mengajar, serta kesehatan anak-anak dan ekonomi masyarakat terganggu.
2. Bagaimana dampak positif bagi lingkungan hidup, dan penegakan hukum di KLHK, sejak pasal-pasal ini diberlakukan?
Penegakan hukum baik sanksi administratif, perdata dan pidana yang kami lakukan mempunyai efek jera dalam mendorong perusahaan memperbaiki perilaku dan kinerja pengelolaan lingkungan.
Ada Perbaikan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulan kebakaran hutan oleh dilakukan perusahaan, walaupun masih harus ditingkatkan.
Kami terus melakukan pengawasan untuk memastikan ketaatan dan melakukan tindakan tegas terhadap perusahaan yang tidak taat. Sejauh ini memang masih ada perusahaan yang masih main-main.
3. Seberapa efektif pasal-pasal ini bisa menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan?
a. Penerapan strict liability sesuai pasal 88 UU 32/2009 terkait dengan kasus-kasus lingkungan hidup merupakan praktek yang lazim dan sudah lama digunakan dibanyak negara.
Sebagai upaya untuk melindungi warga negara terkait resiko/dampak lingkungan yang sangat serius dari aktivitas usaha yang dilakukan oleh korporasi.
Jadi satu kemunduran apabila penerapan strict liability ini dihilangkan dari UU 32/2009.
b. Strict liability memudahkan bagi pihak Penggugat (seseorang, masyarakat, organisasi lingkungan hidup dan pemerintah) untuk mengajukan gugatan ganti kerugian dan/atau pelaksanaan tindakan pemulihan lingkungan hidup.
Dengan menggunakan strict liability Penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan Tergugat.
Penggugat hanya membuktikan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh tergugat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menggunakan B3, menghasilkan limbah B3 atau menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan hidup.
Dalam strict liability pihak tergugatlah yang harus membuktikan dia harus bertanggung jawab maupun bersalah atau tidak atas suatu bahaya atau kerugian yang terjadi.
c. Beberapa perkara perdata yang didorong menggunakan strict liability oleh KLHK yaitu perkara kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi kegiatan PT Bumi Mekar Hijau (gugatan KLHK dikabulkan Pengadilan Tinggi Palembang), PT Waringin Agro Jaya (gugatan KLHK dikabulkan PN Jakarta Selatan sebesar Rp 373 Milyar), PT Palmina Utama (Proses Persidangan di PN Banjarmasin), dan PT Ricky Kurniawan Kertapersada (Proses Persidangan di PN Jambi).
Gugatan KLHK yang murni menggunakan Strict Liability yaitu PT Waimusi Agroindah (Proses persidangan di PN Palembang) dan PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (Proses persidangan di PN Jakarta Utara).
Beberapa gugatan KLHK lainnya yang dikabulkan oleh pengadilan antara lain gugatan terhadap PT Merbau Pelalawan Lestari (dikabulkan Mahkamah Agung/ Kasasi sebesar Rp 16, 2 Trilyun), PT Kalista Alam (dikabulkan Mahkamah Agung/ Kasasi sebesar Rp 360 Milyar), PT Jatim Jaya Perkasa (dikabulkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebesar Rp 491 Milyar) dan PT. National Sago Prima (dikabulkan PN Jakarta Selatan sebesar Rp. 1,072 Triliyun).
d. Tindak pidana atas dasar kelalaian yang diatur Pasal 99 UU 32/2009 memudahkan bagi penegak hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana, khususnya terhadap tindak pidana korporasi, karena penyidik tidak perlu membuktikan bahwa pihak penanggung jawab usaha dan/atau usaha sebagai pelaku pembakaran hutan dan/atau lahan, melainkan karena tidak diindahkannya larangan dan/atau tidak dilaksanakannya kewajiban dalam izin dan/atau peraturan perundang- undangan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan standard yang ditentukan.
e. Dari beberapa putusan yang ada terlihat peningkatan efektifitas penegakan hukum yang dilakukan. Kemajuan terpenting terkait dengan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan terhadap korporasi pembakaran hutan dan lahan adalah komitmen para hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan hakim agung dalam menerapkan putusan yang berkeadilan untuk lingkungan hidup (prinsip indubio pro natura). Kami mengapresiasi komitmen ini.
4. Bagaimana hasil evaluasi penegakan hukum KLHK, dari penggunaan pasal tersebut, mengingat muncul keluhan dari kalangan pengusaha, karena mereka bisa dijerat secara hukum pidana maupun perdata?
a. “Terjeratnya” penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam sanksi administratif, kasus pidana dan perdata bukan semata-mata adanya Pasal-Pasal tersebut, melainkan sebagai konsekuensi terhadap tidak ditaatinya larangan dan/atau tidak dilaksanakannya kewajiban oleh korporasi sebagaimana ditentukan dalam izin lingkungan, izin perlindungan dan pengelolan lingkungan hidup, serta peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Pengawasan dan penindakan yang kami lakukan menunjukkan banyak korporasi yang tidak taat.
Penegakan hukum dan putusan hakim terkait dengan kebakaran hutan dan lahan selama ini adalah karena adanya korporasi yang melanggar hukum "inkonstitusional" bukan karena pasal-pasal tersebut yang inkonstitusional. Harus ada kejujuran, jangan dibolak balik.
Apabila tidak ada pasal-pasal tersebut maka justru hak-hak konstitusi masyarakatlah yang semakin dirugikan oleh tindakan korporasi yang tidak bertanggung jawab.
b. Judicial Review oleh asosiasi pengusaha hutan (APHI) dan perkebunan sawit (GAPKI) refleksi ketakutan terhadap tindakan tegas pemerintah atas kejahatan pembakaran hutan dan lahan yang mereka lakukan selama ini, yang sudah merampas hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (UUD 1945 pasal 28 huruf H).
Sebagai asosiasi seharusnya APHI dan GAPKI menjadi mitra pemerintah dalam membangun perilaku korporasi yang taat kepada hukum, bukan menyalahkan pasal-pasal dalam UU dengan melakukan JR. Untuk korporasi yang selama ini mempunyai komitment, kemampuan dan taat dalam melakukan pencegahan dan penangulangan kebakaran hutan dan lahan kami mengapresiasi dan tidak perlu kuatir.
c. Kami melihat bahwa keberadaan Pasal 88, dan Pasal 99 UU No. 32/2009 serta Pasal 49 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan penting untuk memastikan korporasi bertanggung jawab dan bertindak konstitusional dalam mewujudkan hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mewujudkan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana amanat Pasal 28H dan Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945.
Keberadaan Pasal 69 Ayat (2) UU No/32/2009 merupakan bentuk pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hukum terhadap kearifan masyarakat adat, yang sudah ada terlebih dahulu sebelum korporasi ada, sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945.
d. Sekali lagi bahwa Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan melalui sanksi administratif, perdata dan pidana secara konsisten dan tegas adalah upaya untuk melaksanakan perintah konstitusi dan hak-hak masyarakat.
Jangan dipertentangkan pengelolaan LHK dengan korporasi, atau jangan diperspesikan apalagi diartikulasikan penegakan hukum menghambat investasi.
Untuk bisa tumbuh berkelanjutan dan berkeadilan sosial, kita memerlukan korporasi dan investasi yang berkualitas bukan korporasi yang tidak bertanggung jawab. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Niat Awal Aksi Bela Ulama, Belakangan Pengin Ukir Rekor Tarawih
Redaktur : Tim Redaksi