jpnn.com - Setidaknya ada lima potret perjalanan Islam mengawani bangsa ini.
Pertama, di era pra dan awal kemerdekaan, posisi politik Islam sangat vital. Sejumlah data menjelaskan secara gamblang peran politik Islam kala itu.
BACA JUGA: Dari Atas Vespa, AMIN Sapa Warga Jombang
Tokoh-tokoh Islam di masa revolusi tidak saja menggerakkan kaum santri, tetapi juga turut sangat aktif membentuk design republik ini.
Selanjutnya, pembukaan UUD RI secara tegas menyebut "Dengan Rahmat Allah". Agresivitas Islam juga dominan dalam batang UUDRI yang mewujud dalam 37 pasal. Puncaknya "kemenangan" Islam dengan meletakkan konsep ketuhanan pada sila pertama Pancasila.
BACA JUGA: Cak Imin Optimistis AMIN Menang di Tapal Kuda Jatim
Kedua, keberhasilan yang gemilang di awal kemerdekaan, salah satu kuncinya adalah adanya wadah tunggal perjuangan politik umat Islam: Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI).
MIAI adalah embrio bersatunya peran dan kiprah dalam kancah perang politik (field political war) kekuatan Islam di Indonesia yang sejajar dengan eksponen nasionalis.
BACA JUGA: CSIIS: Pasangan AMIN Kian Percaya Diri, tetapi Tidak Mulus
Kekuatan Islam sama solidnya baik di battle ground maupun di meja diplomasi ada nama Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Roem sibuk membangun dan menyatukan komando Islam demi berkontribusi dalam hirasudin wa siyasatu dunya, politik untuk menjaga peran agama sebagai rahmatan lil alamin sekaligus untuk menata tata kelola negara.
Meski penyingkiran secara sistematik atas peran Islam dalam bernegara juga terjadi.
Kebijakan rasionalisasi tentara yang diambil Jenderal Gatot Subroto, Wakil Kepala staf Angkatan Darat (1956-1962) esensinya adalah penyingkiran dari karir militer, laskar-laskar Sabilillah bentukan NU.
Disebut penyingkiran sebab yang bisa melanjutkan karir militer adalah mantan kombatan yang bisa baca tulis latin. Sementara laskar Sabilillah rata-rata berlatar belakang pesantren yang hanya familiar dengan huruf Arab.
Ketiga, tragisnya ketika revolusi fisik benar-benar berakhir, kekuatan Islam pecah tercerai berai.
Masyumi (majelis syuro muslimin Indonesia) yang design awalnya adalah sebagai satu-satunya instrumen perjuangan politik Islam, sekaligus sebagai "baju politik" MIAI, terbelah.
NU menarik diri dari konfederasi itu dan membangun sistem kepartaian independen.
Pemilu pertama dalam sejarah republik ini, adalah cermin pertama retaknya perjuangan politik Islam.
Keempat, masa-masa kelam perjalanan politik Islam berada di puncaknya pada akhir pemerintahan Bung Karno dan awal-awal Orde Baru.
Kekuatan Islam terbelah.
Puncak dari pelemahan politik Islam adalah ketika di masa Orba terjadi pengelompokan partai-partai dalam kebijakan fusi.
Partai-partai berlatar Islam disederhanakan dalam PPP, sementara kekuatan politik nasionalis dikelompokkan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kebijakan fusi ini tidak serta-merta menyatukan kembali kekuatan Islam seperti pada era MIAI.
Justru di tangan Orba, politik belah bambu atas kekuatan Islam dijadikan sebagai alat pemecah dan penghalang bersatunya Islam sepanjang rezim Orba.
Kelima, pasca tumbangnya Orba, kekuatan Islam mengkonsolidasi diri, harapan besar seperti pada masa MIAI menyeruak.
Tokoh-tokoh Islam memilik bargaining posisi kuat ada, Gus Dur, Amien Rais dan Akbar Tanjung, hadir menggambarkan Islam yang berpolitik secara tunggal; politik rahmatan lil alamin.
Namun, sangat disayangkan bulan madu kekuatan Islam kala itu berlangsung pendek. Kurang dari dua tahun, Gus Dur jatuh.
Sebelum kejatuhan, konflik horisontal sesama kelompok Islam terjadi dengan masif. NU berhadapan sebagai "lawan" atas Muhammadiyah, sejumlah kantor Golkar, dirusak.
Padahal Akbar Tanjung, kompatriot Gus Dur adalah ketua umum partai warisan orba tersebut dan harapan besar menyatunya kembali kekuatan Islam, sirna sekejap.
Dengan rentang sejarah politik Islam Indonesia yang penuh beban tersebut, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin) hadir.
Kelahiran Amin sontak disikapi secara diametral, Amin tengah mencoba menegakkan benang basah, menyatukan air dan minyak.
Di sisi lain, Amin hadir untuk menjawab tantangan, menyambut mandat umat Islam.
Kelas menengah Islam, kaum terdidik santri, membuncah sebagai energi, amunisi dan sumber daya umat.
Amin menawarkan restorasi sejarah kekuatan Islam Indonesia dengan sejumlah fragmentasi dan kontestasi masa lalu.
Amin ditantang untuk merobohkan sekat bahkan dinding beton trauma politik aliran Islam Indonesia.
Ada publik yang melihat, Amin membangun mimpi, sambil membasuh luka masa lalu yang kelam demi kegemilangan masa depan. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), dan dosen Pascasarjana UNU Ponorogo
Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Kenny Kurnia Putra