'Pasukan Khusus' Kades Selok Awar-awar Gedor Pintu Warga yang Ikut Teken

Jumat, 02 Oktober 2015 – 06:20 WIB
TUKANG TEROR: Poster Tim 12 di salah satu warung di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Foto: GUNAWAN SUTANTO/Jawa Pos

jpnn.com, LUMAJANG - BERKALI-kali Turiman dan Nadi menghela napas panjang. Tatapan mereka nanar, memandang ke arah hamparan sawah. "Kalau seperti ini, paling beberapa minggu lagi padinya mati," ujar Turiman.
------------
Gunawan Sutanto, Lumajang
------------
Sawah yang digarap dua warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, itu memang hanya terletak sekitar 300 meter dari bibir Pantai Watu Pecak. Tapi, selama ini padi di sana aman dari serbuan air laut yang dilemparkan gelombang Samudra Hindia.

Sebab, di antara persawahan dan pantai, ada benteng alami berupa bukit-bukit pasir setinggi 3-4 meter. Tapi, penambangan pasir ilegal yang menggila sejak 2012 melenyapkan benteng tersebut.

BACA JUGA: Aku Rindu Indahnya Langit Biru

"Sekarang lihat sendiri, ombak besar terlihat begitu dekat," ujar Nadi yang hanya bisa bertutur dalam bahasa Jawa bercampur Madura.

Padahal, sawah itu menjadi gantungan hidup mereka. Meski terletak di pesisir, mayoritas warga desa yang berjarak sekitar 20 kilometer ke arah selatan dari Kota Lumajang tersebut memang mengandalkan sumber penghasilan dari bertani dan berkebun.

BACA JUGA: Hiii Serem...Banyak Tengkorak di Gua Ini, Mistis Banget

Kerusakan alam karena penambangan pasir itu sebenarnya sudah lama disuarakan warga. Lewat beragam cara, kepada berbagai pihak. Bukan hanya oleh penduduk Desa Selok Awar-Awar, namun juga warga beberapa desa lain di Kecamatan Pasirian dan Tempeh yang sama-sama berada di pesisir selatan Lumajang.

Namun, perjuangan mereka selama ini terhalang berbagai tembok. Mulai minimnya pengetahuan hingga tidak adanya respons dari instansi di tingkat desa sampai kabupaten.

BACA JUGA: Bermain Bola di Atas Sungai, Kok Bisa?

Belum lagi yang paling mengerikan: teror dari kelompok pendukung penambangan. Teror itulah yang akhirnya merenggut nyawa Salim Kancil karena dianiaya secara biadab pada Sabtu (26/9).

Tokoh antitambang lainnya, Tosan, yang juga dianiaya lolos dari maut. Tapi, pria 52 tahun itu mengalami luka parah dan kini harus menjalani perawatan intensif di RSU dr Saiful Anwar Malang.

Penganiayaan kepada Salim dan Tosan itu memperlihatkan betapa kerasnya tantangan yang harus dihadapi warga antitambang pasir. Sebab, mereka harus berhadapan dengan kegiatan yang dilindungi aparat pemerintahan dan nyaris tak disentuh aparat keamanan.

Abdul Hamid, rekan seperjuangan Salim dan Tosan, mengungkapkan, selama ini penambangan pasir liar di sepanjang garis pantai selatan Lumajang bermodus sama. Yakni, melibatkan aparat desa.

Kepala desa biasanya membuka tambang ilegal dengan memungut setiap truk yang mengangkut pasir. Besar pungutan bervariasi, antara Rp 200 ribu-Rp 300 ribu.

Menurut Hamid, untuk mengesahkan tindakan tersebut, biasanya Kades membuat peraturan desa. Hal itu tidak hanya terjadi di Desa Selok Awar-Awar, tapi juga di Gondoruso, Bades, Bagu, dan Selok Anyar yang masuk wilayah Pasirian. Begitu pula di Pandan Arum dan Pandan Wangi yang berada di Tempeh.

"Sebenarnya sejak 2012 masyarakat di sekitar pesisir pantai selatan Lumajang resah dengan adanya izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan bupati lama (Sjahrazad Masdar)," ujar Hamid.

Sejak adanya IUP itu, kegiatan pertambangan pasir di pesisir pantai selatan Lumajang makin menggila. Warga sampai susah membedakan mana tambang yang berizin dan mana yang tidak. Mereka akhirnya menganggap semua kegiatan pertambangan ilegal. Sebab, tidak pernah sekali pun mereka diajak berbicara oleh perusahaan yang terlibat.

Menurut Hamid, warga antitambang sebenarnya sudah pernah mengadu ke wakil rakyat mereka yang duduk di DPRD Lumajang. Namun, tanggapannya sangat prosedural: warga diminta membuat surat resmi.

"Namanya petani, mana bisa membuat surat resmi. Wong tanda tangan saja banyak yang tidak bisa," ucap Hamid.

Karena laporan ke DPRD dan pemkab tidak membawa hasil, warga Desa Selok Awar-Awar meminta bantuan Hamid yang lama tinggal di Jakarta. Warga tahu beberapa tahun silam Hamid terlibat dalam perlawanan penambangan liar di desa lain.

Perjuangan kelompok antitambang itu secara masif digerakkan pada awal 2015 dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir.

"Kami murni berjuang karena kerusakan alam yang menyebabkan terganggunya kehidupan. Bukan karena tidak mendapatkan uang dari pungutan-pungutan yang dilakukan di tambang tersebut," ujar Hamid.

Tak dipedulikan di lingkup Lumajang, kelompok antitambang itu akhirnya menempuh jalur lain. Mereka mengadu ke sejumlah instansi di Jakarta. Tercatat tiga kali mereka berangkat ke ibu kota.

"Kami urunan dengan menjual apa pun yang kami punya," kata Hamid. Bahkan, ada warga bernama Sapari yang sampai menjual gudel (anakan kerbau) buat sangu ke Jakarta.

Di Jakarta, perwakilan warga mendatangi sejumlah instansi dan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Mulai ICW (Indonesia Corruption Watch), Walhi, KPK, hingga Istana Presiden. Mereka juga mengirimkan surat keberatan yang ditandatangani 41 warga penggarap sawah di Desa Selok Awar-Awar.

Aduan ke sejumlah instansi itu rupanya membuahkan hasil. Sekitar Juni lalu, warga mengetahui ada surat tembusan ke Kepala Desa (Kades) Selok Awar-Awar Haryono. Isinya, Kades diminta menyelesaikan masalah tersebut dengan menghentikan kegiatan penambangan.

Haryono memang sempat berjanji menghentikan penambangan liar. Tapi, janji itu ternyata hanya bualan. Puluhan hingga ratusan truk setiap hari masih hilir mudik untuk mengambil pasir di pesisir pantai.

Bahkan, sejak adanya surat yang ditujukan kepada Kades itu, warga semakin sering mendapatkan teror. Warga mengatakan, teror itu dilakukan orang-orang dekat Kades yang biasa disebut Tim 12.

Tim itulah yang mencari dan mengancam orang-orang yang ikut tanda tangan. "Ada warga yang rumahnya digedor-gedor sampai didatangi saat menggarap sawah," cerita Hamid.

Ancaman tersebut membuat nyali sejumlah warga menciut. "Mereka takut karena orang-orang itu kan dekat dengan Kades," kata Iksan, warga lain di Desa Selok Awar-Awar.

Hanya beberapa orang yang tetap berani bersuara. Di antaranya, Hamid, Salim Kancil, dan Tosan. Ketiganya terus mendorong warga untuk tetap berani menolak tambang.

Puncaknya, mereka sedianya berdemo di lokasi tambang pasir pada Sabtu siang lalu (26/9). Tujuannya, memberitahukan kepada para sopir truk pasir bahwa Kades Haryono telah berjanji menghentikan penambangan liar.

Tapi, rencana demo itu rupanya diketahui Tim 12. Pada Sabtu pagi (26/9), mereka bergerak terlebih dahulu melawan rencana aksi warga. Orang-orang yang sudah menjadi target Tim 12 didatangi di rumah masing-masing.

Ada enam orang yang menjadi target: Salim, Sapari, Hamid, Ansori, Tosan, dan Iksan. Tapi, pada Sabtu pagi itu, Sapari, Hamid, dan Ansori sudah berada di rumah Iksan bersama beberapa warga.

Nahas bagi Salim dan Tosan, keduanya masih berada di rumah. Salim diciduk Tim 12 saat hendak keluar rumah. Sementara itu, Tosan dikejar ketika menyebarkan selebaran penentangan penambangan liar kepada sopir truk yang melintas di depan rumahnya.

Penganiayaan secara keji dilakukan secara terbuka terhadap keduanya. Salim dibawa ke balai desa yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya. Di sana, dia disiksa beraneka cara. Mulai dihantam dengan benda tajam dan tumpul hingga disetrum di joglo pendapa.

Jawa Pos sempat melihat langsung balai desa tersebut Selasa lalu (29/9). Di joglo tempat Salim disetrum, memang ada dua stop kontak listrik di sisi kiri dan kanan.

Biasanya, colokan listrik itu digunakan untuk menyambungkan kabel saat ada acara. Sehari sebelum Jawa Pos ke sana, di sekitar joglo tempat penyiksaan, warga menaburkan bunga untuk mengenang dan mendoakan Salim. Anak ketiga Salim, Dio Eka Saputra, 13, termasuk yang menyaksikan bagaimana ayahnya dibawa paksa oleh para preman pendukung pertambangan pasir.

"Anak saya sempat teriak agar jangan bawa bapaknya, tapi malah dilempar batu oleh salah satu orang," ucap Tijah, istri Salim, menirukan ucapan anaknya.

Saat kejadian, Tijah tengah berada di pasar. Dio yang duduk di bangku kelas V SDN 1 Selok Awar-Awar akhirnya hanya bisa melihat sang bapak dibawa paksa dengan ditempatkan di motor yang diapit dua orang.

Salim menjadi incaran utama karena dianggap salah seorang motor pergerakan perlawanan tambang. Bahkan, Jumat malam (25/9) sebelum kejadian, dia mengadakan  pertemuan di rumahnya untuk membahas persiapan mendemo sopir-sopir truk tambang.

Tijah masih ingat, suaminya menyampaikan siap bertaruh nyawa untuk menentang tambang. "Katanya, nanti anak-cucunya harus meneruskan perjuangannya," ujar Tijah.

Admari, warga desa lainnya, juga menyaksikan iring-iringan kendaraan Tim-12 yang mendatangi rumah Tosan. Saat kejadian, Tosan bersama beberapa orang sedang menyebarkan surat penolakan kepada sopir truk."Mereka sangat banyak seperti orang mau karnaval," ujar Admari.

Sesampai di rumah Tosan, Tim-12 yang berpersonel puluhan orang langsung mengejar Tosan. Beberapa orang berupaya melerai, namun kalah jumlah. Tosan lari ke lapangan sepak bola yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.

Di lapangan itu dia terkepung dan dianiaya dengan berbagai cara. Yang paling keji, tubuh Tosan dilindas dengan motor berkali-kali. Beruntung, nyawa Tosan masih bisa terselamatkan setelah dilarikan ke rumah sakit.

Kini warga berharap polisi bisa mengusut tuntas kasus pembunuhan dan penganiayaan tersebut. Mereka khawatir jika aktor-aktor intelektual belum tersentuh. Sebab, itu berarti mereka harus bersiap menghadapi serangan dan intimidasi.

Namun, di balik peristiwa mengerikan itu, warga mengambil hikmah bahwa perjuangan mereka selama ini setidaknya tidak sia-sia. Pengorbanan Salim, Tosan, dan para penolak tambang pasir lain telah membuka semua mata di penjuru negeri. Dukungan pun mengalir dari banyak pihak.

Selain itu, kabar baiknya, polisi telah menetapkan 23 orang tersangka pembunuhan Salim. Termasuk, ini yang paling melegakan warga, Kades Haryono.

Apalagi pascatragedi yang menewaskan Salim, semua kegiatan penambangan di Lumajang dihentikan. Rabu lalu (30/9), misalnya, 18 sopir truk ditangkap karena masih nekat mengambil pasir di Gondoruso.

Kerusakan alam memang kadung terjadi. Tapi, setidaknya petani seperti Nadi dan Turiman kini bisa lebih memusatkan perhatian pada bagaimana cara menyelamatkan sawah mereka.

BACA: Ternyata, Setiap Truk Pasir Harus Setor Segini ke Kades

"Saya rasa kabar ini bukan hanya kebahagiaan kami warga Selok, tapi seluruh masyarakat Lumajang," ujar Hamid. (*/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... MENGHARUKAN! Sepenggal Kisah Pilu Budi Waseso


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler