jpnn.com, JAKARTA - Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB Rachel Kyte, polusi udara adalah hal yang lumrah terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Dia justru menganggapnya sebagai pertanda pembangunan yang berkelanjutan.
Dia menambahkan, negara-negara berkembang membutuhkan dukungan untuk mengurangi tingkat polusi udara di wilayahnya. Meski demikian, dia mengapresiasi upaya Indonesia mengangkat isu perubahan iklim menjadi fokus pemerintah.
BACA JUGA: Waspadai Bahaya Kabut Asap Bagi Kesehatan
“Bukan hal yang mudah untuk melakukan pembangunan tanpa adanya polusi,” tuturnya dalam video conference di kantor perwakilan PBB di Jakarta, Jumat (2/8).
“Negara-negara berkembang ini perlu mendapatkan dukungan. Karena tidak mudah untuk melakukan pembangunan tanpa adanya polusi udara,” imbuhnya.
BACA JUGA: Kualitas Udara di Jakarta Buruk, Bagaimana Kondisi di Bekasi?
BACA JUGA: Nasdem: Polusi Jakarta Bukan Hanya Urusan Anies Baswedan
Berdasarkan catatan PBB, lebih dari 600 juta populasi di Asia Tenggara dan setengahnya terdampak polusi udara. Masalah ini bisa diselesaikan jika negara maju mendampingi negara berkembang menggunakan kebijakan ramah lingkungan.
BACA JUGA: Belagia Tangguhkan Bantuan Untuk UNRWA
“Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak tanpa memberi solusi. Ini masalah bersama,” lanjut Kyte.
Dia mengajak para investor asing dari negara maju bisa menawarkan solusi pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan saat menjalin kerja sama dengan negara berkembang di Asia.
“Banyak negara melupakan proses transisi untuk membagikan teknologi dengan keramahan lingkungan. Ini yang harus kita ingatkan,” imbuhnya.
Dia menambahkan, empat tahun terakhir menjadi catatan terpanas suhu di bumi. Bahkan di Arktik, suhu naik 3 derajat Celcius sejak 1990. Ketinggian laut juga meningkat, dan membuat kehidupan laut terancam.
Selain itu, perubahan iklim juga mengancam kesehatan manusia, di mana polusi udara, gelombang panas dan berisiko pada ketahanan pangan.
Isu mengenai pengurangan emisi karbon melalui sektor ekonomi ini akan menjadi pembahasan PBB dalam Pertemuan Iklim PBB di New York pada 23 September mendatang. Pertemuan tersebut sekaligus menjadi bentuk implementasi dari Perjanjian Iklim di Prancis pada 2015.
Utusan Khusus Sekretaris-Jenderal PBB untuk Pertemuan Iklim PBB 2019, Luis de Alba menyebutkan, pertemuan tersebut bukan sekadar menjadi bentuk kesadaran akan pentingnya isu perubahan iklim. Tetapi lebih khusus untuk menemukan solusi masalah ini.
Sebab, kata Luis de Alba, setiap negara anggota akan diminta untuk mempresentasikan proposal berisi rencana konkret, realistis, dan kompatibel untuk menanggapi masalah peningkatan pemanasan global. Diprediksi pada 2020, pemanasan global akan meningkat hingga 1,5 derajat Celcius. (DAY/rmco)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Larangan Mobil Tua di Jakarta, Pengamat: Kita Tunggu Keberanian Anies
Redaktur & Reporter : Adil