Sejumlah negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Kamboja, Malaysia, dan Indonesia telah dituduh memanfaatkan pandemi isu pandemi COVID-19 untuk mengekang kebebasan berbicara.

Awal bulan Juni lalu, Komisioner HAM PBB, Michelle Bachelet memperingatkan adanya usaha untuk mengekang kebebasan berpendapat di negara-negara Asia Pasifik di tengah pandemi.

BACA JUGA: Angka Penularan Corona di Melbourne Terus Naik

Michelle mengatakan sedikitnya 12 negara Asia melakukan penahanan terhadap warga yang menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemerintah dengan tuduhan menyebarkan informasi palsu lewat media sosial.

Negara-negara itu antara lain Bangladesh, Kamboja, China, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

BACA JUGA: Kasus Kematian ABK, Ini Tuntutan Indonesia kepada Tiongkok

Unggahan 'fake news' jadi perkara di Indonesia

Di Indonesia, Komisiener HAM PBB mengatakan setidaknya ada 51 orang yang dilaporkan sedang dalam penyelidikan dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Beberapa diantaranya diketahui telah menyebarkan "fake news" di saat Indonesia sedang memerangi virus corona.

BACA JUGA: Misteri Mobil Pelat COVID19 di Australia, Sudah Parkir Sebelum Pandemi Ada

Namun Kepolisian RI (Polri) mengatakan penangkapan tersebut sebagai upaya penegakan hukum bagi mereka yang memanfaatkan isu COVID-19.

"Sudah 51 kasus dan 51 tersangka," kata Kapolri Jenderal Idham Azis dalam rapat dengan Komisi III DPR RI secara virtual yang disiarkan di Facebook DPR, akhir Maret lalu.

Dalam pernyataannya, Komisioner HAM PBB juga mencontohkan penangkapan tiga pria setelah mereka mengunggah sebuah pesan di sosial media.

Unggahan tersebut menyebutkan kasus penularan virus corona di kawasan Jakarta Utara terjadi setelah pemerintah menyemprotkan cairan disinfektan.

Selain itu ada pula sejumlah laporan dimana polisi telah memblokir sejumlah akun sosial media dan hal ini telah dibenarkan oleh Kapolri.

"Dari tanggal 2-27 Maret telah melakukan penyelidikan terhadap 153 informasi, memblokir 38 akun," ujar Idham.

Di Indonesia, menyebarkan 'fake news' memang bisa diperkarakan ke jalur hukum karena menyebabkan kepanikan masyarakat.

"Penyebaran isu-isu atau informasi yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat," ujar Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Listiyo Sigit P saat melakukan keterangan pers awal Maret lalu.

Di Jawa Timur, seorang ibu rumah tangga asal Wonokusumo, Surabaya pernah berurusan dengan polisi karena dianggap menyebarkan "kabar bohong" terkait virus corona, seperti yang dilaporkan CNN Indonesia.

Hanya saja tindakan mengatur "fake news" seperti ini malah membuat kekhawatiran Komisioner HAM PBB, yang menilai dijadikan kesempatan juga memberangus kebebasan berbicara, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah dan kebebasan berekspresi. Photo: Kamboja sejauh ini berhasil menangani penyebaran virus corona dengan belum adanya kematian dilaporkan di sana karena COVID-19. (Reuters: Jorge Silva )

  40 penangkapan di Kamboja

Penahanan suami Sok Bolima di Kamboja merupakan contoh terbaru dimana ada upaya membungkam mereka yang mempertanyakan kebijakan pemerintah.

Sok Bolima yang memprotes penahanan suaminya mengaku sadar mengapa dia terus diawasi di ibukota Kamboja, Phnom Penh.

Dia berdiri di luar kantor kedutaan dan gedung pengadilan setiap hari Jumat sejak suaminya, Khim Pheana, ditahan pihak keamanan.

Khim Pheana ditahan setelah menunggah informasi di akun facebooknya mengenai COVID-19 di negara itu.

Dia dituduh berkhianat terhadap negara dan melakukan penghasutan, yang bisa dikenai hukuman penjara 15 sampai 20 tahun.

"Ada orang yang memata-matai saya. Setiap jam, setiap detik, saya selalu diawasi," kata Sok Bolima kepada ABC.

"Ketika saya pulang ke rumah mereka tetap mengikuti. Saat keluar rumah, mereka mengawasi. Saya sangat khawatir dengan keselamatan saya, namun saat ini saya tidak mau dibungkam," ujarnya.

Sok Bolima mengaku akan terus melawan sambil berharap akan ada pihak yang membantu suaminya.

Ia berencana membawa petisinya ke Kedutaan Australia di Phnom Penh.

"Kalau mereka mau memasukan saya ke penjara, saya rela."

Sok Bolima biasanya didampingi beberapa perempuan, yang suami mereka juga ditahan selama beberapa bulan terakhir. Photo: Angkor Wat yang biasanya dipenuhi turis sekarang sepi karena pandemi COVID-19 memaksa Kamboja menutup industri pariwisata. (Supplied - Benson Hewat)

 

"Saya satu dari 15 istri yang melakukan protes di depan gedung pengadilan agar mereka membatalkan tuduhan terhadap suami kami," katanya.

Semua pria ini ditahan dan dituduh melakukan pengkhianatan terhadap negara dan semuanya merupakan anggota partai oposisi CNRP yang sudah dinyatakan terlarang.

Sok Bolima mengatakan sudah kehilangan banyak hal sejak suaminya ditahan.

"Saya tidak punya apa-apa lagi. Saya kehilangan rumah, jadi sekarang saya mau berjuang sampai mati di depan pengadilan sampai suami saya dibebaskan."

"Saya akan tidur di jalanan di depan pengadilan sampai ada solusi."

Dilaporkan sudah ada 40 penangkapan di Kamboja karena unggahan di media sosial berkenaan dengan COVID-19 sejak dimulainya pandemi.

ABC menghubungi juru bicara pemerintah Kamboja untuk mendapatkan tanggapan berkenaan dengan hal ini.

Juru bicara Kementerian Kehakiman Kamboja, Chin Malin, mengatakan pemerintah tidak berusaha membungkam kebebasan berpendapat.

"Pemerintah tidak menekan kebebasan berbicara tapi hanya menerapkan hukum terhadap berita palsu, penghinaan, dan membesar-besarkan informasi yang bisa mengganggu ketentraman umum dan juga hak individu lain," katanya dalam pesan SMS kepada ABC.

"Ini bukan masalah kebebasan berbicara, namun perbuatan kriminal dalam sistem hukum Kamboja. Pemerintah memiliki perangkat hukum cukup untuk menanganinya." Photo: Wartawan Al Jazeera meninggalkan kantor polisi Bukit Aman di Kuala Lumpur setelah diperiksa berkenaan dengan laporan yang mereka buat mengenai pekerja migran yang tidak memiliki dokumen. (Reuters: Lim Huey Teng)

  Penahanan wartawan di Malaysia

Minggu lalu, lima wartawan asal Australia yang bekerja untuk Al Jazeera diiperiksa polisi Malaysia karena membuat film dokumenter yang membuat marah pihak berwenang.

Liputan dokumenter tersebut berkenaan dengan pekerja migran di Malaysia yang menderita selama pandemi COVID-19.

Para wartawan tersebut menghadapi tuduhan pencemaran nama baik dan pengkhianatan terhadap negara, yang bisa dikenai denda dan bahkan hukuman penjara.

Situs berita Malaysiakini juga menghadapi tuduhan melakukan penghinaan terhadap pengadilan, setelah adanya pembaca yang mengirimkan postingan di situs berita tersebut, mengkritik cara kerja pengadilan.

"Dampaknya akan mengerikan karena ini bisa mencakup semua penyedia informasi, Facebook, Google, pemilik blog, yang menyediakan fasilitas bagi pihak ketiga untuk memuat informasi," kata pengacara Surendra Ananth. Photo: Malaysia termasuk salah satu negara di Asia yang dituduh menekan kebebasan berbicara di masa pandemi COVID-19. (Reuters: Lim Hey Teng)

 

Kelompok HAM di Malaysia menuduh pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin melakukan penindasan setelah kekisruhan politik di negara tersebut belakangan ini.

"Ada kekacauan politik yang menciptakan pemerintahan ini," kata Phil Robertson dari Human Rights Watch kepada ABC.

"Dan pemerintahan ini mengakui bahwa warga Malaysia menderita karena pandemi COVID-19 dan dampak ekonomi karenanya.

"Sayangnya, pemerintah mencoba mencari musuh dari luar demi menyatukan para pengikutnya."

ABC berusaha menghubungi pihak pemerintah Malaysia lewat email dan telepon namun sejauh ini tidak berhasil.

*Berita ini telah diperbaharui 17 Juli 2020, pukul 23:00 Waktu Australia Timur dengan tambahan pernyataan Komisioner HAM PBB soal Indonesia.

Artikel ini telah disadur dari laporannya dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahniah... Partai Bulan Bintang Bertambah Usia

Berita Terkait