jpnn.com, JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Imparsial kembali menyuarakan pentingnya reformasi peradilan militer melalui diskusi bertajuk 'Advokat Militer: Dua Diksi Lucu untuk Perluasan Impunitas di Sadjoe Café and Resto, Jakarta Selatan, Kamis (31/8).
Forum itu menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain advokat Peradi, Bahrain, dan Theo Reffelsen dari Public Interest Lawyer Network Indonesia.
BACA JUGA: Respons Jokowi soal Wacana Revisi UU Peradilan Militer
Dalam forum tersebut, PBHI dan Imparsial juga merilis petisi revisi UU Peradilan Militer.
Dikutip dari soaran pers PBHI, diskusi publik itu digelar sebagai respons atas penggerudukan Mapolrestabes Medan yang dilakukan oknum TNI Mayor Dedi Hasibuan dan anggotanya.
BACA JUGA: Cak Imin Cawapres, Demokrat Tuding Paloh & Anies Berkhianat
Aksi itu dinilai bentuk dari tindakan obstruction of justice yang justru mendapat pembelaan dari Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI.
Bentuk pembelaan itu antara lain berupa dua pernyataan pihak Babinkum saat konferensi pers di Mabes TNI yang dianggap bermasalah dan menyesatkan publik.
BACA JUGA: Perselingkuhan ASN bukan Persoalan Pribadi, Sanksi Berat Menanti, Bisa Dipecat
Pernyataan pertama, bahwa kehadiran Mayor Dedi di Mapolrestabes Medan dengan kapasitasnya sebagai penasihat hukum tersangka dengan merujuk pada SEMA No. 02/1971.
Kedua, tersangka ARH yang diproses hukum Polrestabes Medan merupakan anggota keluarga TNI sehingga berhak mendapat pendampingan hukum didampingi anggota TNI sebagai kuasa hukumnya.
Pernyataan itu dinilai berbahaya karena yang memiliki kapasitas sebagai kuasa hukum dalam kasus tindak pidana umum telah diatur secara jelas hanya dimiliki oleh advokat tersumpah.
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah diatur mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara seperti Anggota TNI dan Polri dilarang untuk menjadi advokat
Dengan demikian, apabila anggota TNI dinyatakan dapat menjadi penasihat hukum, hal ini dinilai merupakan penghinaan terhadap profesi advokat.
"Sebetulnya UU Advokat sudah mengunci bahwa siapa pun boleh menjadi advokat asal syarat-syaratnya terpenuhi yakni asal bukan pegawai negeri sipil atau pejabat," kata Bahrain.
Selain itu, Bahrain menilai anggota TNI tidak tepat ketika menjadi advokat karena TNI adalah pegawai negeri sipil.
"Dasar hukum yang disebutkan Kababinkum yaitu melalui SEMA, sudah tidak tepat karena sudah ada dasar hukum baru yaitu UU Advokat," tuturnya.
Menurut Bahrain, kekacauan terkait militer aktif yang menjadi advokat ini terjadi akibat belum dibenahinya reformasi peradilan militer melalui revisi UU 31 tahun 1997.
"Dalam konteks reformasi peradilan militer, pemerintah selama ini seperti jalan di tempat atau bahkan mundur," ujar Bahrain.
Sementara itu, Theo Reffelsen dari Public Interest Lawyer Network Indonesia menyampaikan bahwa mandat Revisi UU 31/1997 yang mengatur Hukum Acara Pidana Militer sebagai salah satu agenda Reformasi Sektor Keamanan sudah jelas diatur dalam TAP MPR VII/2000 dan UU TNI.
Selain itu juga sudah diperintahkan oleh MK melalui Putusan Nomor 27/PUU-XIX/2021 agar Pembentuk Undang-undang (Pemerintah dan DPR) segera merealisasikan reformasi UU Peradilan Militer yang mengakomodasi berbagai bentuk perubahan dan kebutuhan hukum sesuai dengan semangat reformasi nasional dan reformasi keamanan, khususnya pembagian yurisdiksi yang jelas dan tegas.
Menurut Theo, pemerintah dan DPR harus memiliki kemauan politik untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana militer yang melibatkan publik luas melalui partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
"Karena terlalu mewah dan berbahaya jika revisi UU Peradilan Militer hanya diserahkan dan menjadi dominasi institusi TNI," ucap Theo.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam