JAKARTA - Praktek politik legislasi di periode ketiga parlemen pasca reformasi masih mendapatkan tekanan kuat agar berorientasi pada liberalisme dan berpihak kepentingan modal asingNuansa tersebut sangat terasa dalam 38 UU yang telah disahkan DPR sejak 2009 sampai penghujung tahun 2011 ini.
"Kenyataan itu secara faktual dapat ditunjukkan oleh adanya tarik-menarik yang cukup kuat dalam setiap pembahasan atas substansi pokok sejumlah UU," kata Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi (Baleg) DPR Arif Wibowo di Jakarta, Senin (26/12)
BACA JUGA: Demokrat: Pemda Jangan Main Caplok Lahan Warga
Kesimpulan ini merupakan hasil kajian yang dilakukan Poksi PDIP
BACA JUGA: FPPP Anggap Reformasi Polri Gagal
Spirit ini terdeteksi dalam sejumlah produk perundangan yang lahir sepanjang tahun 2010-2011Sebut saja UU No.21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengurangi kewenangan Bank Indonesia (BI) atas kontrol sektor keuangan
BACA JUGA: Marzuki Dalami Kemungkinan Friksi Internal Polri
"Begitu juga UU No.5/2011 tentang Akuntan Publik yang memberikan ruang cukup besar terhadap kepentingan asing dalam memanfaatkan sektor keuangan," kata Arif.Liberalisasi juga terjadi di sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA)"UU No.13/2011 tentang Holtikultura dan UU No.20/2011 tentang Rumah Susun juga membuka ruang yang signifikan bagi penanaman modal asing," kritiknya
Bahkan, lanjut dia, UU No.4/2011 tentang Informasi Geospasial menempatkan informasi geospasial sebagai sumber daya yang tradable atau dapat diperjualbelikanNasib UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Permukiman juga sama gelapnya
"UU itu memberi ruang besar bagi pembangunan perumahan komersial dengan insentif yang cukup tinggi," ujar pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 29 Juni 1968, itu.
Di tengah menguatnya liberalisme, menurut Arif, masih tersisa beberapa UU yang menunjukkan "perlawanan terbatas" terhadap kecenderungan ituArif mencontohkan UU No.9/2011 tentang Sistem Resi Gudang sebagai salah satu usaha untuk perlindungan sektor petani melalui lembaga penjaminKemudian ada UU No.13/2011 tentang Fakir Miskin.
"UU Fakir Miskin diharapkan menjadi salah satu upaya penanganan kemiskinan dengan cakupan yang lebih komprehensif dan tak sekedar karitatif," katanya
Perlawanan terbatas itu juga, imbuh dia, yang menyebabkan beberapa peraturan perundang-undangan memuat pasal-pasal yang saling berkontestasi dan saling kontrol"Hal itu terlihat misalnya dalam UU Pengadaan Tanah Bagi pembangunan Untuk Kepentingan Umum," terang Arif.
Di satu sisi, Arif mengakui UU itu memang diorientasikan untuk percepatan pembangunan infrastruktur yang mensyaratkan terpenuhinya modal yang mencukupiNamun, di dalamnya juga diakomodasi pasal-pasal yang memberikan perlindungan dan penguatan bagi rakyat yang berhak atas tanahDi antaranya, mekanisme konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah dan pembatasan jenis-jenis kepentingan umum secara detil.
"Bentuk ganti kerugian juga tidak serta-merta menghilangkan akses rakyat pada benefit (kemanfaatan, Red) atas tanahnya melalui pemukiman dan kepemilikan saham," tegasnya.
Arif menyampaikan kecenderungan warna politik legislasi sekarang ini sebenarnya fase lanjutan dari liberalisasi legislasi yang sudah dilakukan sejak jaman Orba hingga Orde Reformasi"Hasil studi harmonisasi UU sejak 1945-2011 yang dilakukan Poksi PDIP di Baleg DPR, menuntun kami pada kesimpulan sementara bahwa kecenderungan liberalisme ekonomi terus menguat pasca perubahan politik 1998," kata Arif.
Fenomena ini terlihat jelas dalam UU di sektor ekonomi dan sumber daya alamDi masa orba ada 9 UU utama yang membuka pintu bagi liberalisasiDi era reformasi setidaknya tersisir 20 UU yang memberikan "karpet merah" kepada kekuatan modal asing.
"Pendek kata, politik legislasi kita kian nyata semakin jauh dari ideologi dan konstitusi bangsa," ujarnyaArif menyebut PDIP akan terus melawan arus liberalisasi di parlemenSelain itu, hasil kajian tersebut juga akan menjadi materi ideologisasi untuk kader di internal partainya(pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Konflik Pertanahan Marak, PKB Ingatkan SBY
Redaktur : Tim Redaksi