jpnn.com, JAKARTA -
Pembahasan RUU Pemilu molor dipicu ngototnya masing-masing fraksi terkait lima isu krusial.
Dengan waktu pembahasan RUU Pemilu yang sudah melewati tenggat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) siap melonggarkan sikapnya.
BACA JUGA: Yakin Aturan Pemilu 2019 Tidak Akan pakai UU Lama
Namun, tidak terhadap semua isu. Ada satu isu yang kubu banteng moncong putih tetap bersikeras mempertahankannya.
Yaitu, persentase presidential threshold atau ambang batas perolehan suara minimal parpol atau gabungan parpol dalam pemilu untuk bisa mengajukan pasangan presiden dan wakil presiden.
BACA JUGA: Mendagri Konsisten soal Presidential Threshold, Ini Alasannya
Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, dalam pembahasan isu politik, termasuk RUU Pemilu, pihaknya siap membuka ruang dialog demi mencari solusi bersama.
”Tiap partai kami dengarkan. Kami dudukkan pada gambaran yang ideal tentang sistem pemerintahan yang kuat,” kata Hasto di Jakarta kemarin.
BACA JUGA: Disiapkan PKPU tentang Tahapan Pemilu dengan Dua Opsi
Menurut Hasto, demi membuka ruang dialog tersebut, PDIP siap berubah sikap. Misalnya, terkait dengan sistem pemilu.
PDIP yang selama ini mendorong keras sistem proporsional tertutup siap berubah mendukung sistem proporsional terbuka.
Begitu juga terkait komposisi kursi maupun sistem konversi suara, PDIP siap mendengarkan suara dari partai lain.
”Intinya, kami ingin ada penguatan parpol, tapi juga memungkinkan parpol memperjuangkan aspirasi rakyat,” ujarnya.
Sebagai imbal balik, Hasto berharap partai atau fraksi lain mau menerima tawaran PDIP mengenai presidential threshold pada angka 20–25 persen.
Menurut Hasto, basis dukungan partai itu adalah landasan legitimasi bagi efektivitas sistem presidensial.
”Kalau yang dipersoalkan hanya ingin memperbanyak calon presiden dan Wapres, (menurut PDIP, Red) isunya bukan ke sana. Isunya adalah bagaimana meningkatkan kualitas demokrasi,” ucapnya.
Hasto optimistis, jika ruang dialog dibuka, kesepakatan antarpartai terhadap lima isu krusial yang masih tarik ulur itu bisa segera tercapai.
Jika diperlukan, komunikasi bisa langsung dilakukan antarketua umum partai politik. ”Nantinya kami bisa mencari formula terbaik demi penguatan sistem,” ujarnya.
Pria kelahiran Jogjakarta, 7 Juli 1966, itu, membantah jika forum dialog tersebut akan berbelok menjadi ajang barter pasal-pasal isu krusial.
Dia menegaskan, forum dialog tersebut lebih bertujuan mendudukkan beragam gambaran ideal terkait sistem pemilu nasional.
”Tanpa ada konsep tentang sistem pemerintahan yang kuat, segala sesuatu akan jadi transaksi jangka pendek,” tandasnya. (bay/c10/pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Direktorat Politik Dalam Negeri Gelar Kegiatan Pendidikan Politik
Redaktur & Reporter : Soetomo