jpnn.com - RUMAH bertirai bambu di Jalan Simo Gunung Kramat Timur sekilas tidak berbeda dengan rumah-rumah lain di kanan-kirinya. Siapa pun pasti mengira itu rumah tinggal atau kos-kosan.
Tapi, saat memasuki rumah tersebut, orang baru tahu bedanya. Suasananya mirip ruang kelas panjang.
BACA JUGA: Belajar Soal-Soal di Internet, Tiga Mapel Dapat Nilai 10
Dua papan tulis menempel di tembok dengan jarak yang berdekatan. Sebuah kipas angin berukuran sedang tergantung tepat di tengah ruangan. Di atas rak tua yang menempel di tembok, terlihat Alquran dan kitab-kitab kuning berusia puluhan tahun.
Meski hanya berukuran 4 x 8 meter, ruangan itu selalu ramai setiap hari. Seusai salat Magrib, sedikitnya 60 santri seusia anak-anak hingga remaja memadati ruangan tersebut untuk belajar mengaji.
BACA JUGA: Tersinggung Berat Dipanggil Mister Monkey
Satu ruangan itu digunakan untuk mengajar beberapa kelas dengan materi berbeda secara bersamaan. ”Suara saya sampai habis. Tidak ada jalan untuk lewat,” kata Hasan Ma’ruf, pemilik sekaligus pengajar di ’’pesantren’’ tersebut.
Pria yang akrab disapa Sahal itu merupakan pendatang dari Pasrepan, Pasuruan. Hatinya tergerak membuka pendidikan informal untuk anak-anak warga sekitar lokalisasi. Rumah Sahal berjarak kurang dari 100 meter dari lokalisasi yang segera ditutup dalam beberapa hari ke depan tersebut.
BACA JUGA: Pilih yang Inspiratif, Mengaku tak Pernah Ikut Casting
Kepedulian pria 46 tahun itu muncul ketika melihat segerombolan anak-anak di lingkungan tersebut lalu-lalang ke sana kemari tanpa tujuan setiap malam. Dia jadi teringat pada kampungnya di Pasuruan. Anak-anak seusia mereka biasanya pergi ke surau untuk belajar mengaji. Saat itulah terbit ide di kepalanya untuk membuka ’’surau’’.
Dia berharap surau itu bisa mengubah kebiasaan anak-anak yang hanya jalan-jalan tanpa tujuan. Dia ingin anak-anak tersebut punya kegiatan yang lebih bermanfaat untuk masa depannya kelak.
Namun, menetaskan ide dalam kepalanya bukan hal mudah. Pertama, dia harus mencari tempat untuk mengajar. Pada pertengahan 2000, Sahal membeli rumah di Simo Gunung Kramat seluas 4 x 18 meter. Uangnya hasil dari menjual rumah warisan di desa.
Awalnya, dia ingin membuka kos-kosan. Dia sudah membangun lima kamar untuk disewakan. Namun, pikirannya tiba-tiba berubah. Padahal, dia sudah merogoh modal cukup besar. Lebih-lebih, saat itu kamar kosnya sudah penuh oleh penyewa.
Perasaan Sahal selalu dihantui ketidaktenangan ketika melihat anak-anak yang keluyuran setiap malam. Dengan tekad bulat, dia menutup tempat kosnya. Semua penghuni diminta pindah meski baru sebulan dibuka.
Lima kamar kos itu dibongkar sehingga menjadi sebuah ruangan besar memanjang. Tempat tersebut kemudian dipakai untuk mengajari anak-anak mengaji. Bekas sekat kamar disulap menjadi papan tulis.
Hingga sekarang rumah tersebut hanya terbagi menjadi tiga bagian. Ruang belajar, ruang ganti, dan kamar mandi. Dapur menggunakan teras depan rumah.
”Saya ndak punya ruang pribadi. Kalau tidur, ya berenam di sini,” ucapnya sambil menunjuk ruang kelas. Ruangan itu multifungsi. Mulai tidur, makan, belajar, mengaji, hingga menerima tamu.
Sejak ada ruangan tersebut, bapak kelahiran 6 November 1967 itu berusaha menarik anak-anak agar mau belajar di rumahnya. Awalnya, hanya ada dua anak yang menerima ajakannya.
Agar anak-anak tersebut mau, dia memberi hadiah berupa es teh, jajanan ringan, dan buku. Setelah menerima pemberian itu, kedua santrinya diminta mengajak teman lainnya agar mau belajar di sana.
Akhirnya, anak-anak berbondong-bondong memenuhi ruang kelas Sahal. Kocek dalam jumlah besar pun dikeluarkan agar bisa memberi hadiah.
”Saya tidak masalah. Kalau keluarga saya dulu terbiasa makan tempe sama ikan, akhirnya makan pakai tempe saja tidak apa-apa,” tuturnya.
Sejak itulah banyak anak-anak yang belajar di sana. Sekarang meski sudah tidak ditawari hadiah, anak-anak yang belajar mengaji tidak pernah sepi. Sampai-sampai ruang kelasnya tidak lagi muat. Saat ini jumlah ’’santri’’-nya mencapai 80 orang. Tapi, yang mengaji setiap hari maksimal 60 santri.
Dengan ukuran ruang yang amat terbatas tersebut, santri harus berebut duduk. Sering kali Sahal dan lima pengajar lainnya kebingungan membagi tempat duduk yang beralas lantai itu. Sebab, ada pembagian kelas sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Ada yang pemula, ada pula yang setengah mahir.
Santri anak-anak diberi waktu belajar setelah magrib sampai datang waktu isya. Setelah itu, giliran remaja yang belajar mengaji kepada Sahal.
Jumlahnya sekitar 10 orang. Sekitar pukul 20.00, giliran santri dewasa dan orang tua. Jumlahnya mencapai 20 orang. Profesinya beragam. Ada pegawai bank, analis keuangan, guru, dan mahasiswa. Mereka berasal dari kampung sekitar Jarak dan Dukuh Kupang.
Untuk menyambung hidup, bapak empat anak itu berjualan aksesori perempuan di kompleks lokalisasi Dolly.
Hanya, pekerjaannya tersebut dilakukan pada dini hari. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 01.30, dia menenteng rak plastik yang ditata sedemikian rupa sehingga mudah dibawa. Barang jualannya mulai ikat rambut, jepit, sampai pewangi pakaian. ”Saya tidak jualan kondom,” ungkapnya dilanjutkan tertawa.
Barang jualannya ditawarkan kepada para PSK yang masih menunggu atau sudah selesai melayani tamu. Dalam menawarkan barang jualannya, dia sering mengawali dengan dialog. Ketika perbincangan bersambut hangat, Sahal memasukkan pesan-pesan moral agar PSK tersebut menghentikan profesinya.
Permintaan itu tidak diucapkan secara vulgar. Misalnya, Sahal memberi pertanyaan diselingi guyonan tentang sampai kapan akan bekerja sebagai PSK. Tidak jarang, PSK yang diajak ngomong menangis ketika Sahal bercerita. Karena kegetolannya itu, sejumlah PSK berhenti dan pulang ke daerahnya.
Murid Kiai Hamid Pasuruan itu paham betul cara menempatkan diri. Saat mengajar, dia memakai sarung dan berkopiah. Tapi, ketika berjualan, dia memakai celana pendek, berkaus, beranting, dan berkalung.
”Biar mudah diterima. Bayangkan kalau saya jualan pakai kopiah, mungkin saya tidak akan bebas masuk ke wisma,” ucapnya.
Di kawasan Dolly, Sahal dikenal dengan nama Pak Ndut. Namun, sebutan itu berubah ketika identitas Sahal sebagai seorang ustad terkuak. Para PSK memanggilnya dengan sebutan Abah.
Identitas itu diketahui ketika dia diundang mengisi pengajian yang lokasinya tidak jauh dari Gang Dolly.
Sahal dan keluarganya merupakan keluarga pondok pesantren. Keluarga istrinya, Binti Mahmudah, bahkan memiliki Pondok Pesantren Roudlotul Ihsan di Kediri. Tapi, dia lebih memilih tinggal di kawasan merah dan mengajari anak-anak meski dengan keadaan yang sangat terbatas.
”Kalau dihitung secara lahir, jelas kurang. Tapi buktinya, saya tetap bisa hidup sampai sekarang. Tetap mengajar meski apa adanya. Daripada tidak berbuat apa-apa,” tuturnya.
Perjuangan yang tak kalah patriotik dilakukan Kartono. Pria kelahiran Banyuwangi itu malah memiliki sejarah kelam di dunia prostitusi.
Dahulu dia seorang mucikari sebuah wisma di kawasan merah tersebut. Tempatnya menjadi salah satu tempat jujukan favorit.
Perubahan drastis terjadi ketika dia melihat anak-anak dilacurkan di sana. Hatinya memberontak dan tiba-tiba menjadi orang yang merasa sangat berdosa.
Pelan tapi pasti, wisma yang dikelolanya ditutup. ”Waktu itu saya benar-benar ingin memperbaiki diri,” tuturnya.
Sejak medio 2006 pria kelahiran Agustus 1963 tersebut mulai berpikir bagaimana berbuat lebih untuk lingkungan kawasan Jarak. Melalui relasinya, dia diberi sumbangan komik dari sebuah gereja. Saat itulah dia berpikir untuk membuka perpustakaan yang kemudian diberi nama Kawan Kami.
Perpustakaan yang beralamat di Jalan Putat Jaya IIA/36 itu tidak langsung ada. Tempat menjadi kendala utama. Dia pun merelakan kamar kosnya yang berukuran 2,5 x 1,5 meter untuk disulap menjadi perpustakaan supermini.
Meski hanya komik, Kartono mengumumkan perpustakaan tersebut kepada anak-anak yang melewati tempat kosnya.
Kartono menganggap anak-anak di sana perlu diberi kesibukan positif agar tak teracuni ingar-bingar lokalisasi. Perpustakaan menjadi jawabannya.
Meski, ketika membaca buku di perpustakaan itu, mereka harus bersaing dengan dentuman suara musik dangdut yang terdengar sepanjang waktu.
Kegigihannya mengembangkan perpustakaan berbuah manis. Kini koleksi bukunya tidak hanya komik. Buku pelajaran dan pengetahuan umum sudah cukup banyak. Bantuan dari berbagai pihak juga mengalir. Mulai rak, buku, karpet, hingga perlengkapan yang mendukung kegiatan perpustakaan.
Bahkan, kini perpustakaan itu tak hanya menempati satu ruang. Ada tiga ruangan yang bisa dipakai untuk kegiatan anak-anak. ”Kami menyewa tiga kamar, disulap jadi perpustakaan,” terangnya.
Anak-anak yang datang untuk belajar pun semakin banyak. Sampai sekarang dia mengandalkan sumbangan untuk mempertahankan perpustakaan tersebut.
Untuk sewa kamar kos, Kartono mendapat kucuran uang CSR dari BNI. Sewa itu akan berakhir Agustus depan. ”Setelah itu, masih dipikir bagaimana (kelanjutan sewa kamarnya),” imbuhnya.
Selain memberikan kegiatan positif bagi anak-anak, Kartono mulai memberdayakan perempuan di lingkungan perpustakaan. Salah satu caranya, melatih ibu rumah tangga membuat bros.
Sayang, dia kesulitan untuk memasarkan lantaran harga produksinya masih terlalu mahal.
Saat ini Kartono sedang mengembangkan pelatihan pembuatan roti kering. Seorang temannya menyumbangkan sebuah oven. Dengan alat itu, dia mengundang ibu-ibu untuk belajar membuat roti kering. Pelatihan tersebut gratis.
Percobaannya juga sudah berhasil. Rencananya kegiatan itu terus dilakukan karena tak lama lagi Lebaran. ”Semoga yang saya lakukan bermanfaat,” ucapnya. (Eko Priyono/c10/ib)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Selalu Ingat Cerita Komjen Pol Anang Iskandar
Redaktur : Tim Redaksi