jpnn.com - SEBELUM membuka lembaran lama sejarah Kalijodo, mari simak dulu senarai kisah pelacuran di zaman kompeni.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Anak Bung Karno, Ali Sadikin dan Lantai Dansa
Meski hanya tiga tahun, ketika menguasai sebagian negeri yang hari ini bernama Indonesia, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sempat membuat aturan main perihal praktek prostitusi.
Pangkal soalnya, gara-gara daya tempur pasukannya tiba-tiba merosot akibat penyakit kelamin.
BACA JUGA: SENI...! Cara Anak Bung Karno Memukau Orang di Zaman Soeharto
Daendels membuat aturan, "kewajiban melakukan pemeriksaan medis secara rutin," kata Hendaru Tri Hanggoro, pemuka Sarekat Sejarawan Partikelir kepada JPNN.com, Kamis (18/2).
Hendaru mengubak buku Indonesian Women in Focus, dan memperlihatkan sebuah tulisan Liesbeth Hesselink bertajuk Prostitution: A Necessary Evil, Particularly in the Colonies. Views on Prostitution in the Netherlands Indies.
BACA JUGA: PETA Blitar Berontak, Jepang Buru Kader PKI
"Liesbeth menafsir, menelaah aturan yang ditetapkan Daendels, sama artinya dengan melegalkan praktek prostitusi," kata alumnus Universitas Indonesia itu.
Sekadar catatan, Daendels yang kaki tangan Napoleon (Prancis) berkedudukan di Jawa sepanjang 1808-1811, sebelum akhirnya digantikan Raffles (Inggris).
Artinya, sejak awal abad 17, praktek pelacuran sudah ada di negeri ini. Sebelum itu? Nanti diceritakan…
Aturan 1852
Dalam tulisannya, Liesbeth menerangkan bahwa "di seluruh dunia, tangsi militer menjadi persemaian prostitusi. Demikian pula di Hindia Belanda."
Menurut dia, militer di Hindia Belanda terbagi dalam tiga kategori; menikah, kumpul kebo dengan para pembantunya (nyai) dan bujangan.
"Yang terbanyak kategori kedua," tulis Liesbeth.
Untuk menyalurkan hasrat biologisnya, kira-kira apa yang dilakukan para serdadu kategori ketiga? Tak perlu dipertegaslah ya!
Yang pasti, pada 1852 pemerintah Hindia Belanda menelurkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolde, welke uit de prostitutie voortvloeien.
Aturan 1852 ini memisahkan rumah bordil tentara (gouvernementskaten) dengan rumah bordil lainnya.
Aturan 1874
Waktu berjalan. Serupa dengan zaman Daendels, lagi-lagi karena urusan penyakit kelamin, pada 1874 pemerintah Hindia Belanda menerbitkan kebijakan baru.
Aturan 1874 mewajibkan para pelacur mendaftarkan diri ke polisi dan tiap pekan memeriksa kesehatannya ke dokter.
Yang kena penyakit kelamin, dikarantina di rumah sakit. Dan tidak boleh pergi sebelum sembuh.
Dua tahun kemudian, menurut Liesbeth, pemerintah mendirikan rumah sakit khusus pelacur di Batavia (kini Jakarta), Pontianak, Tanjung Pinang dan Banjarmasin.
Pun demikian, pemerintah kolonial melarang keras wanita Eropa menjadi pelacur di tanah jajahan.
Prostitusi Terselubung
Nah, perlu diketahui, pada 1911 di Belanda terbit Undang-Undang Moralitas Publik yang menghapus aturan prostitusi.
Aturan serupa diberlakukan di Hindia Belanda, 1 September 1913. Eksploitasi pelacur bisa kena sanksi hukum.
"Tapi aturan itu malah menyuburkan pertumbuhan hotel, rumah teh (warung remang-remang) dan rumah bordil terselubung. Prostitusi juga mulai merambah ke jalan-jalan," tulis Liesbeth.
Apakah Kalijodo muncul dari perkembangan sejarah yang ini? --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wisata Kuliner di Zaman Para Meneer
Redaktur : Tim Redaksi