Pelaku Industri Desak Pemerintah Terapkan Kebijakan Inland FTA

Selasa, 16 Agustus 2016 – 08:29 WIB
Kawasan Industri Batamindo, Batam. Foto: rezza/batampos/jpg

jpnn.com - BATAM - Pelaku industri di Batam meminta agar pemerintah segera merumuskan skema kebijakan Inland Free Trade Agreement (FTA) untuk mendorong agar hasil industri Batam dapat dipasarkan di dalam negeri tanpa membayar bea masuk.

"Ketika harus memasarkan barang produksi Batam ke wilayah di dalam negeri, kami harus menanggung biaya ekstra karena harus membayar bea masuk," ujar Manajer PT Batamindo Investment Cakrawala, Tjaw Hoeing, seperti diberitakan batampos (Jawa Pos Group), hari ini (16/8).

BACA JUGA: PLN Terangi 14 Kabupaten di Papua dan Papua Barat

Pengenaan bea masuk ketika memasarkan barang kedalam negeri memang cukup banyak menguras kantong."Dari Batam ke wilayah lain di Indonesia, kami harus membayar tarif pajak sebesar 22,5 persen," ungkapnya.

Tarif-tarif tersebut terdiri antara lain tarif bea masuk sebesar 10 persen, tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,5 persen dan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.

BACA JUGA: Ekspor Lesu, Neraca Dagang Masih Surplus

Tjaw kemudian membandingkannya dengan tarif yang sama ketika mengimpor barang produksi Batam keluar negeri. Karena terikat perjanjian Asean dengan Cina, maka pelaku industri di Batam hanya membayar tarif sebesar 12,5 persen tanpa dikenakan bea masuk. 

Begitu juga hal yang sama berlaku ketika pelaku usaha industri asing memasarkan barangnya kedalam negeri ."Masa mengimpor lebih murah daripada memasarkan dalam negeri. Padahal dengan jumlah penduduk hingga Rp 250 juta, negara kita merupakan pasar yang bagus," ungkap Tjaw.

BACA JUGA: Driver Go-Jek Bandung Bakal Geruduk Jakarta

Dengan lambatnya perumusan kebijakan Inland FTA, Tjaw menjadi khawatir industri di Batam dan wilayah lainnya di Indonesia akan kesulitan bersaing dengan gempuran dari industri-industri asing.

"Perusahaan-perusahaan yang ada di Batam ini tidak ada yang memperluas ekspansi usahanya kedalam negeri, malah menggiatkan ekspansi keluar negeri," ungkapnya.

Tjaw juga menyebut biaya logistik untuk mengirim barang ke dalam negeri sangatlah mahal karena Indonesia terdiri dari kepulauan. Biaya logistik hampir mencapai 25 persen.

"Karena tingginya biaya untuk memasarkan dalam negeri, padahal pasarnya begitu luas, perusahaan enggan membuka lapangan kerja seluas-luasnya karena produksinya sedikit," tambahnya.

Pria berkacamata ini kemudian menyebutkan pemerintah menempatkan kebijakan Inland FTA sebagai bagian integral dari upaya untuk menarik investasi asing ke Indonesia di samping kebijakan investasi lain seperti pengembangan kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), revisi Daftar Negatif Investasi (DNI), insentif fiskal, dan lain-lain. 

Skema ini bekerja dengan memberikan fasilitas perdagangan atau kepabeanan bagi industri dalam negeri dengan memperlakukan preferensi FTA untuk proses produksi di dalam wilayah Indonesia. Dengan kata lain, bea masuk dan tarif pajak semisal PPh dan PPN ditangguhkan untuk menarik investor masuk ke Indonesia.

Di samping itu, dengan kebijakan ini, maka impor bahan baku atau barang setengah jadi dari luar negeri akan bisa dikurangi.

Namun, salah satu syarat untuk mendapatkan fasilitas ini yakni hasil output industri harus memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen dinilai masih sangat sulit untuk diterapkan.

Jika skema kebijakan ini dapat diterapkan secepatnya, perusahaan-perusahaan manufaktur di Batam siap untuk mematuhi segala aturannya, karena akan mendorong perluasan industri dan mengatasi masalah pengangguran.

"Sampai saat ini tenant di Batamindo, jumlahnya masih sama dengan tahun lalu yakni 68 tenant dengan 48 ribu karyawan. Belum ada investasi masuk lagi ke sini," ucapnya.(leo/ray/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OJK Garansi Tax Amnesty tak Bikin Pasar Keuangan Alami Bubble


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler