jpnn.com - KEGILAAN pelaut-pelaut Indonesia menjadi buah bibir tiga puluh tahun yang lalu. Sebuah pelayaran maut demi mengharumkan nama bangsa.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Top! Pelaut Legendaris itu...
Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, 9 Juli 1986.
Pemerintah Indonesia menghelat acara sederhana saat melepas kapal Phinisi Nusantara yang akan berlayar ke Vancouver, Kanada.
BACA JUGA: Mission Impossible...Mana Pelaut Indonesia?
Nampak hadir Laksamana Soedomo, Gubernur DKI Jakarta Letjen Soeprapto, Joop Ave, Panglima Armada Barat, dan lain-lain.
Pelayaran sejauh lebih kurang 11 ribu mil, melintasi Samudera Pasifik yang terkenal ganas, dengan kapal tradisional dianggap sebagian kalangan mission impossible.
BACA JUGA: Ini Dia Pelayaran Paling Legendaris di Abad 20
Bayangkan saja, kapal layar itu panjangnya hanya 37 meter.
"Proyek mengantarkan mayat ke laut. Begitu disebut media massa," kata Capt. Gita Ardjakusuma (71) dalam sebuah perbincangan dengan JPNN.com, baru-baru ini.
Tapi, ini sebagai pembuktian bahwa nenek moyang Indonesia memang bangsa pelaut.
Antara Jakarta-Bitung
Dinakhodai Capt. Gita Ardjakusuma, Phinisi Nusantara berlayar dengan 12 awaknya.
Kian jauh meninggalkan dermaga, lama-lama mengecil serupa semut. Lalu hilang dari pandangan mata orang-orang di Muara Baru.
Eh…belum apa-apa, spi roda kemudi patah. Mereka memutuskan merapat ke Cirebon. Sementara waktu, roda kemudi diganjal dengan kunci inggris.
Selama perbaikan di Cirebon, kepada siapa pun yang bertanya, para awak kapal kompak menjawab, "terpaksa singgah di Cirebon karena diminta oleh panitia di Jakarta untuk menjemput seorang panitia yang akan ikut berlayar sampai Bitung."
Menurut cerita Capt. Gita, seluruh pejabat, bahkan perwira Angkatan Laut di pelabuhan Cirebon, percaya!
"Hingga akhir pelayaran Phinisi Nusantara, akal bulus itu tak diketahui umum," kenangnya.
Beres urusan di Cirebon, Phinisi Nusantara kembali berlayar dan merapat di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara, 22 Juli 1986.
Kamu Yakin?
Di Bitung, kedatangan Phinisi Nusantara disambut bak pahlawan yang akan maju ke medan juang.
Gubernur CJ. Rantung menyumbang 100 ekor ikan cakalang, bahan bakar, beras, mi dan lain sebagainya.
Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi Jenderal (purn) Ahmad Taher yang sedang berada di Bitung untuk meresmikan Sentral Telepon Otomat Bitung juga datang ke pelabuhan.
"Kamu betul-betul berani melayarkan perahu seperti ini meyeberangi Pasifik," tanya Taher kepada Capt. Gita, nakhoda Phinisi Nusantara.
"Kami akan mencoba, Pak," sahut Capt. Gita.
"Gila kamu!" kata Taher tersenyum sambil melintangkan jari telunjuknya di jidat.
Kenekatan Capt. Gita dan 12 awaknya, sebagaimana ditulis Nina Pane, anak Sanoesi Pane dalam buku Menyisir Badai, laksana "pelaut gila" yang berusaha sekuat tenaga mengharumkan nama bangsa dan negara.
Menyoal Phillipe
Dan di Bitung, kepada panitia, Capt. Gita lagi-lagi menyoal keberadaan Phillipe Petiniaud, pelaut Prancis dalam kapal yang dinakhodainya.
Pasalnya, sepanjang pelayaran Jakarta-Bitung, bule itu berulah lagi. Merasa sok paling tahu dan selalu meremehkan orang-orang Indonesia.
Capt. Gita tak tahan melihat kesombongan bule yang naga-naganya, bila pelayaran itu berhasil, bisa saja mengklaim bahwa itu karena bantuan dia.
"Saya ingin kejelasan," katanya kepada panitia, "sebetulnya Phillipe ini ikut untuk apa? Kalau hanya bertugas membantu kami, saya tidak memerlukannya."
Akankah Phillipe diturunkan atau tetap ikut dalam "pelayaran maut" itu? --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Betulkah Indonesia Bangsa Maritim?
Redaktur : Tim Redaksi