jpnn.com - PELAYARAN 30 tahun lalu itu membuktikan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia memang seorang pelaut.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Betulkah Indonesia Bangsa Maritim?
Dari Tanaberu, Phinisi Nusantara dibawa ke Ujung Pandang untuk finishing touch, istilah orang sana.
Buah karya tradisional tersebut dilengkapi dengan sejumlah perangkat teknologi mutakhir.
BACA JUGA: Belum Banyak Terekspose! Lakon W.R. Soepratman dan Perawan Desa
"Phinisi yang mulanya hanya mengandalkan layar, dilengkapi motor," tulis Pius Caro, dalam buku Ekspedisi Phinisi Nusantara.
Dilengkapi pula dengan teknologi komunikasi; jaringan yang memunginkan menelpon ke darat.
BACA JUGA: Menyigi Temaram Prostitusi di Kalijodo
Serta, komunikasi frekuensi tinggi yang memungkinkan berkomunikasi dengan satelit radio terdekat.
"Keampuhan ini terbukti ketika tiba di Canada, Phinisi masih dapat berkomunikasi dengan satelit radio di Jayapura," kenang Pius, wartawan Kompas yang ikut serta dalam pelayaran legendaris tersebut.
Kabar Berita
Suatu hari di tahun 1986, Kapten Gita Ardjakusuma diperlihatkan sebuah berita di surat kabar oleh ayahnya, Sueb Ardjakusuma, veteran perwira Angkatan Udara Republik Indonesia.
"Di koran ada berita Phinisi Nusantara akan berlayar ke Canada. Tapi, nakhodanya orang bule. Pelaut Prancis," kata Kapten Gita, dalam sebuah perbincangan dengan JPNN.com, baru-baru ini, medio Februari 2016.
Setelah mematut-matut berita itu, Sueb menggoda Gita, yang mengemban pangkat Kapten dari Angkatan Laut Republik Indonesia. "Mana pelaut kita?"
Pendek kisah, Gita pun mengajukan diri menakhodai pelayaran itu. Negara, melalui Laksamana Sudomo yang sudah mafhum kepiawain Gita di laut, memberi restu.
44 Tahun umurnya ketika itu. Kapten Gita lahir Garut, 29 Desember 1944. Saat bermuka-muka dengan JPNN.com, tempo hari, Pak Kapten masih bugar.
Pelayaran mengarungi Samudera Pasifik, dari Indonesia ke Canada, yang berjarak 11 ribu mil dengan kapal layar ini pun menjadi buah bibir.
Hari ke hari, media massa tak alfa mengulasnya.
Mantra Pelaut
Pelayaran maut! Begitu, tulis koran-koran.
Wajar saja, mengingat semenjak teknologi mesin uap ditemukan akhir abad 18, pelayaran sejauh itu dengan kapal layar sudah lama tak dibuat-buat orang.
Kapten Gita tak gentar. Bersama 11 orang awak Pinishi Nusantara, ia kajur dibaluri mantra mengaru, mantra para pelaut;
Takunjunga bangunturu, nakugunciri gulingku, kualleanna tallanga na toalia, le'ba kusoronna biseangku, kucampa'na sombalakku, tamammelokka punna teai labuang...
Terjemahan bebasnya:
Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan aku putar kemudiku, lebih baik aku pilih tenggelam dari pada balik haluan, ketika perahuku kudorong, ketika layarku kupasang, aku tak akan menggulungnya kalau bukan labuhan...
Pelabuhan Muara Baru, 9 Juli 1986.
Phinisi Nusantara berlayar menuju Vancouver, Canada.
Tak hanya publik Indonesia, dunia internasional pun mempergunjingkannya. Apa mungkin? Dan, apa yang terjadi sepanjang pelayaran? --bersambung (wow/jpnn)
Baca: Betulkah Indonesia Bangsa Maritim?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Zaman Kolonial Hingga Zaman Revolusi, Kalijodo Tak...
Redaktur : Tim Redaksi