Pelindung Setya Novanto Tak Perlu Dipilih Lagi di Pemilu

Selasa, 12 Desember 2017 – 20:21 WIB
Ketua DPR Setya Novanto tiba di gedung KPK menggunakan rompi tahanan usai dijemput dari Rumah Sakit Cipto Manhunkusumo, Jakarta, Minggu (19/11/2017) (Dery Ridwansah/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Adi Prayitno menilai, sudah saatnya masyarakat bersikap tegas terhadap anggota dewan dan fraksi-fraksi di DPR yang terkesan melindungi kasus Setya Novanto.

Menurutnya, para "pelindung" Novanto itu tidak perlu dipilih kembali oleh rakyat pada Pemilu 2019.

BACA JUGA: KPK Gunakan Pasal 55 Jerat Novanto, Begini Penjelasan Ahli

Dengan demikian, rakyat tak lagi sebatas objek kepentingan politik belaka, tapi bertransformasi menjadi kekuatan yang mengendalikan prospek politik masa depan.

"Apalagi di tengah iklim demokrasi yang kian terbuka, rakyat bisa tampil sebagai pengadil bagi para politikus dan partai politik dalam setiap perhelatan kontestasi elektoral," ujar Adi di Jakarta, Selasa (12/12).

BACA JUGA: Ahli Hukum: KPK Seharusnya Cabut Sprindik Setya Novanto

Peneliti di The Political Literacy Institute ini menilai, kasus dugaan korupsi Novanto menjadi pukulan telak bagi supremasi etis bagi pejabat publik di Indonesia.

Karena meski terindikasi melakukan praktik korupsi, Novanto terkesan terus mencoba berbagai upaya.

BACA JUGA: Ahli Pidana: KPK Rebut Hak Setya Novanto

Perilaku Setnov, menurutnya, sangat berbeda dengan pejabat di luar negeri yang memutuskan mundur setelah melakukan kesalahan.

"Di berbagai negara, pejabat yang terindikasi melakukan tindakan tak pantas, memilih mundur sebelum ada vonis tetap pengadilan. Misalnya Wakil Ketua Parlemen Prancis Denis Baupin, memutuskan mundur karena terindikasi melakukan pelecehan seksual," ucap Adi.

Demikian juga di Selandia Baru, Perdana Menteri Sigmundur Gunnlaugsson, memilih sikap jantan. Mundur dari jabatan karena namanya masuk daftar skandal Panama Papers.

"Berbeda dengan di Indonesia, bahkan Mahkamah Kehormatan Dewan tak berkutik menghadapi kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto," ucapnya.

Padahal, Pasal 87 ayat 2 UU Nomor 17/2014 tentang MD3 kata Adu, menyebut tujuh alasan pemberhentian pimpinan DPR.

Tiga dari tujuh alasan tersebut yakni melanggar janji dan kode etik anggota dewan, dinyatakan bersalah dengan vonis tetap pengadilan, dan usulan dari partai politik pengusung.

"Sepak terjang Novanto dalam kasus KTP elektronik jelas menabrak tatanan kode etik anggota dewan. Mahkamah Kehormatan Dewan DPR mestinya cepat mengambil langkah tegas, bukan malah mengulur-ulur waktu," katanya.

Pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Syarief Hidayatullah ini mengatakan, MKD tak perlu lagi berkonsultasi dengan pimpinan fraksi-fraksi, karena DPR sejatinya representasi dari semua fraksi di DPR.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Pertanyakan 2 Surat Rahasia yang Dihadirkan Kubu Setnov


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler