Kremasi massal di sebuah lapangan parkir di Delhi bagi para korban COVID-19. (Reuters: Danish Siddiqui)
Foto-foto yang diambil dari ketinggian menunjukkan suasana di ibu kota India, New Delhi saat kremasi massal dilakukan di lapangan parkir terhadap korban COVID-19 setelah 306 orang meninggal dunia dalam kurun waktu 24 jam di kota itu.
Warga Kota New Delhi, Nitish Kumar, terpaksa menyimpan jasad ibunya di rumah selama dua hari ketika dia kesulitan mencari krematorium di kota tersebut yang bisa membakar jenazah ibunya.
BACA JUGA: Bang Saleh Desak Pemerintah Tegas Terhadap Masuknya WN India
PERINGATAN: Artikel ini bermuatan cerita yang mungkin membuat sebagian pembaca merasa terganggu.
Nitish Kumar kemudian mengkremasi jenazah ibunya hari Kamis dengan fasilitas darurat yang dibuat di sebuah parkiran tidak jauh dari krematorium resmi di Seemapuri di bagian timur laut Kota Delhi.
BACA JUGA: Penumpang Pesawat dari India Diawasi Ketat, Tidak Semua Bisa Masuk RI
"Saya sudah mencari ke mana-mana, tapi semua krematorium penuh. Salah satu di antaranya mengatakan mereka tidak memiliki kayu lagi untuk membakar jenazah," kata Kumar yang mengenakan masker sambil menutup matanya yang berair karena asap dari api pembakaran.
India mencatat rekor kasus harian tertinggi di dunia dengan jumlah 314.835 kasus pada hari kamis (22/04) dalam gelombang kedua pandemi yang sudah melumpuhkan sistem kesehatan negara itu.
BACA JUGA: Rumah Sakit Masih Penuh Pasien Covid-19, Jakarta Dibayangi Malaria
Di Delhi saja, di mana rumah sakit sudah tidak lagi memiliki persediaan tabung oksigen, jumlah kasus dalam sehari mencapai 26 ribu.
Dalam 24 jam terakhir di Delhi saja, 306 orang meninggal dunia dan membuat berbagai tempat terbuka yang ada untuk digunakan sebagai tempat kremasi, tradisi yang banyak dilakukan oleh warga Hindu India.
Jitender Singh Shunty dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di layanan medis, Shaheed Bhagat Singh Sewa Dal, mengatakan sampai hari Kamis sore, sudah ada 60 jenazah yang dikremasi di fasilitas buatan di sebuah lapangan parkir, dan masih 15 jenazah lagi yang menunggu untuk dikremasi.
"Tidak seorang pun di Delhi yang akan melihat hal seperti ini lagi," kata Shunty dengan air mata berlinang.
"Ada anak-anak berusia lima tahun, 15 tahun, 25 tahun yang dikremasi. Ada pasangan pengantin baru yang juga dikremasi. Sedih sekali melihat semua ini."
Shunty yang mengenakan alat pelindung diri dan turban warna kuning cerah mengatakan tahun lalu di masa puncak gelombang pertama, ia pernah mengkremasi 18 orang dalam sehari, dengan rata-rata 8 sampai 10 jasad per hari.
Tapi pada hari Selasa (20/04) lalu, menurutnya di satu tempat saja ada 78 jenazah yang dikremasi.
Nitish Kumar mengatakan, ketika ibunya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan pemerintah yang positif COVID sepuluh hari yang lalu, pemerintah tidak bisa mencarikan rumah sakit untuk merawatnya.
"Pemerintah tidak bisa melakukan apapun. Hanya kita sendiri yang bisa menyelamatkan keluarga kita," katanya. Australia dan Kanada batasi penerbangan dari India
Hari Kamis (22/04), Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan bahwa pesawat charteran dan penerbangan langsung dari India akan dikurangi sebanyak 30 persen, dan perjalanan ke India juga dibatasi.
PM Morrison mengatakan bahwa kepulangan warga Australia dan penduduk tetap Australia dari 'negeri yang berisiko tinggi' merupakan masalah penting, namun warga Australia di India mengatakan mereka sudah lama menghadapi kesulitan untuk mendapatkan penerbangan untuk kembali.
Pemerintah Kanada juga mengatakan akan melarang penerbangan dari India dan Pakistan selama 30 hari mulai hari Kamis sebagai bagian dari usaha mencegah penyebaran virus.
Larangan ini tidak berlaku untuk pengiriman barang.
Perilaku masyarakat yang tidak mengindahkan protokol kesehatan dalam beberapa pekan terakhir, di mana massa berkumpul untuk kegiatan politik dan juga keagamaan disebut-sebut menjadi sebab utama peningkatan kasus.
Munculnya varian baru yang lebih ganas menyebarkan virus juga menjadi alasan lainnya.
"Di seluruh dunia kita melihat bahwa gelombang kedua selalu lebih berbahaya dan lebih mematikan dibandingkan gelombang pertama," kata Dr Deepak Baid dari Asosiasi Konsultan Medis India di Mumbai kepada ABC.
"Jadi kemudian pertanyaanya adalah apakah kita sudah mempersiapkan diri? Jawabannya pastilah tidak."
Wartawan Barkha Dutt mengatakan dia menghabiskan waktu berminggu-minggu melaporkan kasus dari rumah sakit dan tempat kremasi.
"Saya menggambarkan ini sebagai negara yang berantakan. Di mana-mana yang saya rasakan adalah campuran kemarahan, kesedihan, kehilangan dan rasa tidak berdaya," kata jurnalis perempuan ini.
"Rasanya sangat memilukan, tapi dalam waktu bersamaan apa yang terjadi ini di luar batas kemampuan kita. Ini adalah bencana, ini seperti sedang dalam perang. Dan saya hanya merasa bahwa saya harus menceritakan apa yang terjadi dan menggugat mereka yang berwenang. Itulah satu-satunya cara saya bertahan hidup."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari .
ABC/wires
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tegas, Airlangga Sebut Indonesia Menghentikan Pemberian Visa Bagi WNA dari India