Pembagian yang tak Jelas, Mempersulit Sistem Tarif Cukai Hasil Tembakau

Sabtu, 12 Agustus 2017 – 04:14 WIB
Proses pembuatan rokok di salah satu pabrik di Jawa Timur. Foto: dokumen JawaPos.Com

jpnn.com, JAKARTA - Persaingan yang tidak setara masih terjadi di antara pabrikan rokok besar dan kecil.

Saat ini, ada pabrikan besar yang memanfaatkan celah struktur cukai rokok yang rumit, sehingga hanya membayar cukai dengan tarif yang lebih rendah.

BACA JUGA: Wacana Pembatasan Impor Tembakau Dinilai Tidak Tepat

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dasar pembagian golongan besar dan kecil yang tidak jelas ini semakin memperumit sistem tarif cukai hasil tembakau.

Menurutnya, administrasi yang rumit akan mempersulit pengawasan dan kepatuhan, serta membuka celah adanya pelanggaran lantaran adanya perbedaan tarif antar golongan tersebut.

BACA JUGA: Tradisi Panen Tembakau Bakal Masuk Agenda Wisata Budaya Jateng

“Ini menyebabkan negara mengalami kerugian dari sisi penerimaan. Pemerintah harus lebih jeli. Hal ini penting demi melindungi pabrikan kecil. Contoh kasus, saat ini ada pabrikan rokok besar yang membayar cukai sigaret putih mesin atau SPM golongan dua dengan tarif yang rendah, saya berpikir ini sudah salah fatal,” ujar Yustinus.

Dia lantas mencontohkan saat ini, tarif cukai untuk SPM terdiri dari tiga lapis, di mana tarif paling atas dan lapisan bawahnya memiliki celah yang cukup besar. Akibatnya, pabrikan yang bermodal besar memanfaatkannya.

BACA JUGA: Informasi Keliru, Industri Hasil Tembakau Makin Terpuruk

Penggolongan pabrikan seharusnya bukan dari jenis rokok yang dibuat, tapi dari besarnya skala atau volume produksi perusahaan.

"Kalau perusahaan itu sudah memproduksi sigaret kretek mesin dan dikenakan tarif yang paling tinggi, harusnya mereka juga membayar cukai yang paling tinggi untuk jenis sigaret putih mesin atau sebaliknya. Aturan harus fair, adil bagi para pelaku usaha, serta tidak boleh diskriminatif," tutur Yustinus.

Sementara, Amir Uskara Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR mengatakan, praktik ini ironis karena terjadi di saat pemerintah menaikkan cukai rokok hingga 10,5 persen di awal 2017, dengan harapan tambahan dana cukai tersebut bisa digunakan membiayai program-program pemerintah.

Sayangnya, kenaikan cukai ini justru membuat celah keuntungan bagi pabrikan besar untuk membayar cukai lebih rendah dan akhirnya 'memakan korban', yaitu membuat pabrikan-pabrikan rokok kecil gulung tikar.

“Negara saat ini sangat membutuhkan penerimaan, tapi membayar cukai yang diperuntukkan pabrikan kecil, ini tentunya sangat merugikan negara. Kalau bersaing, haruslah adil. Kalau besar, bersainglah dengan yang besar dan membayar tarif cukai yang sesuai. Jangan besar tapi berpura-pura kecil. Kebijakan cukai rokok harus bisa menutup celah ini,” kata Amir.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanafi Rais Minta Jokowi Lebih Tegas


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler