JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menuding partai politik (parpol) sebagai faktor terhentinya pembangunan di daerahPartai-partai politik hanya menjadikan daerah sebagai ajang rebutan kekuasaan.
“Fakta di berbagai daerah-daerah, justu bukan keberhasilan pembangunan dan desentralisasi atau otonomi daerah tapi justru problematika rumit yang menjadikan pembangunan di daerah terstagnasi,” ujar Wakil Ketua DPD Laode Ida ketika membuka Seminar Partai Politik dan Pembangunan Daerah di Hotel Mulia, Senayan—Jakarta, Selasa (3/3).
Dari pihak parpol hadir Ferry Mursyidan Baldan (Partai Golkar), Fahri Hamzah (Partai Keadilan Sejahtera), Arif Budimanta (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Roy BB Janis (Partai Demokrasi Pembaruan), Ida Fauziah (Partai Kebangkitan Bangsa), dan Viva Yoga Mauladi (Partai Amanat Nasional).
Laode membeberkan, problematika rumit di daerah yang menyebabkan pembangunan daerah terstagnasi seperti ketertinggalan infrastruktur, keterpencilan, dan kemiskinan
BACA JUGA: Kasus Monas, Polri Tak Mau Gegabah
Sebagai basis pertumbuhan nasional, pembangunan di daerah menjadi tidak terkelola yang antara lain disebabkan partai-partai politik.“Para pengambil kebijakan di Jakarta, baik pemerintah maupun parlemen yang berasal dari partai-partai politik, tidak memedulikan daerah
BACA JUGA: Abdul Hadi Bisa Dijenguk lewat Monitor
Banyak problematika rumit di daerah tapi Jakarta tidak kunjung peduli,” katanya.Selain itu, lanjutnya, partai politik hanya menjadikan 500-an daerah provinsi, kabupaten, dan kota sebagai ajang rebutan kekuasaan
BACA JUGA: Izzat Segera Serahkan Memori Banding ke PT DKI Jakarta
Kemunculan partai-partai politik tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pembangunan di daerah“Justru yang terjadi sebaliknya.”Dia tambahkan, kerusakan birokrasi di daerah juga disebabkan partai politikApalagi, sejak era pemilihan gubernur, bupati, walikota, setiap pejabat terpilih akan memenuhi janji-janji serta tuntutan-tuntutan pendukungnya“Birokrasi pun diacak-acakPengacak-acakan serius sekali,” tukasnya.
Parahnya lagi, kecenderungan daerah untuk etnis tertentu sejak keharusan putera daerah sebagai gubernur, bupati, walikota, hingga pejabat daerah di bawahnya dan pegawai-pegawai daerah“Sehingga, yang dilayani etnik, yang melayani etnik, atau daerah dianggap sebagai bagian negara yang berbasis etnik.
Semua persoalan tersebut mengacaukan tatanan di daerahMakanya, demokrasi harus direstorasi atau ditata kembali bersamaan dengan pengelolaan pembangunan daerahRestorasi kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan modal: semangat pluralisme, budaya demokrasi, dan birokrasi profesional“Tidak bisa formatnya by accident, tapi by design.” (fas/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terdakwa Mengaku Tak Ada Rencana Bakar Gereja
Redaktur : Tim Redaksi