Pemberontak Syria Bina Mantan Kombatan ISIS

Jumat, 24 November 2017 – 17:45 WIB
ISIS. Foto: AFP

jpnn.com, ALEPPO - Provinsi Aleppo Timur, Syria, bebas dari militan radikal ISIS sejak April. Kini kota-kota yang porak-poranda akibat pertempuran sengit ISIS dan pasukan pemerintah kembali dibangun.

Saat pemerintah berkonsentrasi pada pemulihan fisik, Free Syrian Army (FSA) berfokus pada pemulihan mental para mantan pejuang ISIS.

BACA JUGA: Indonesia Vs Syria U-23: Spaso Langsung Strarter

”Hal yang paling membahayakan dari ISIS adalah ideologinya,” kata Hussein Nasser, pendiri sekaligus direktur Syrian Center for Anti-Extremist Ideology.

Sejak 29 Oktober, pusat rehabilitasi mental di Kota Marea itu membina para mantan pejuang ISIS. Mulai anak-anak sampai orang dewasa. Mereka menerapkan metode pendidikan ala pesantren.

BACA JUGA: Sulut Jadi Transit Simpatisan ISIS, Nih Buktinya

Nasser dan sekitar 25 pembina lainnya berusaha membebaskan para mantan pejuang ISIS itu dari doktrin radikal militan. ”Kami menanamkan kepada mereka bahwa kebebasan dan HAM merupakan dua hal terpenting dalam hidup,” ungkap tokoh pemberontak Syria itu.

Melalui pengarahan dan dakwah di kelas, para pembina yang terdiri atas ulama, cendekiawan, pengacara, dan tokoh masyarakat itu mengajarkan Islam moderat.

BACA JUGA: Lubang Berisi 400 Mayat Korban ISIS Ditemukan di Iraq

Kemarin (23/11) CNN melaporkan kemajuan di pusat rehabilitasi mental yang berjarak sekitar 46 kilometer dari Kota Aleppo tersebut. Para mantan pejuang ISIS yang terdaftar sebagai siswa angkatan pertama berjumlah 30 orang.

Salah satunya adalah Khalil. Usianya masih 14 tahun. Dia mengaku lari dari rumah dan bergabung dengan ISIS sekitar 1,5 tahun lalu.

Sepak terjang Khalil bersama ISIS berakhir saat dia tertembak dalam salah satu bentrokan dengan FSA di Aleppo. Dia kemudian diamankan, diobati, dan menjadi tahanan FSA.

”Saya tidak tahu harus menjawab apa jika Anda bertanya tentang perasaan saya saat kali pertama mengokang senjata dan bertempur bersama ISIS. Yang saya tahu, saya harus maju terus dan pantang mundur. Itu saja,” paparnya.

Melewati masa remaja sebagai pejuang ISIS membuat Khalil dewasa lebih cepat. Selain senjata, rokok lantas menjadi benda yang tidak pernah lepas dari tangannya.

Sampai setelah menjadi tahanan FSA pun, Khalil tidak bisa menghentikan kebiasaan merokok. Sebab, di balik kepulan asap rokok, dia bisa menyembunyikan perasaan rendah dirinya.

Namun, Nasser yakin, rasa percaya diri Khalil akan tumbuh seiring berakhirnya masa pendidikannya di pusat rehabilitasi mental tersebut. Para siswa punya waktu tiga bulan untuk membebaskan diri dari ideologi radikal ISIS di tempat itu.

Pada akhir masa pendidikan, para siswa akan menghadapi ujian. Nilai ujian dan penilaian karakter harian mereka bakal menjadi penentu kelulusan.

Layaknya sekolah, para mantan pejuang ISIS itu juga diharapkan lulus dari pusat rehabilitasi mental. Jika lulus, artinya mereka sudah dianggap mampu berbaur dalam masyarakat.

Maka, FSA akan mengawal proses pembauran tersebut. ”Setelah lulus, kalian harus selalu ingat untuk menerapkan ilmu yang kalian peroleh di sini. Jangan sampai lupa diri dan jangan mudah terpengaruh orang lain,” kata seorang pembina.

Di pusat rehabilitasi mental tersebut, para mantan pejuang ISIS diklasifikasikan dalam tiga kategori. Mantan pejuang ISIS yang masih anak-anak atau remaja seperti Khalil adalah siswa kelas II. Sementara itu, para mantan pejuang ISIS yang berasal dari Eropa Timur dan Asia masuk ke kelas III.

Selain mantan pejuang ISIS, di pusat rehabilitasi mental itu ada sejumlah tawanan ISIS yang mendapatkan pembinaan mental dari FSA. Mereka rata-rata diselamatkan dari reruntuhan rumah di kota-kota yang menjadi benteng pertahanan ISIS di Provinsi Aleppo.

Wa’ed misalnya. Bocah 5 tahun itu menjadi tawanan di sarang ISIS bersama neneknya sampai FSA membebaskan mereka.

Wa’ed adalah korban ISIS. Ayah dan ibunya meninggalkan dia di rumah sang nenek dan tidak pernah kembali lagi.

”Setelah ayah pergi, ibu meminta nenek menjaga saya. Dia kemudian pergi. Dia meninggalkan anak-anaknya di rumah nenek,” paparnya.

Dia mengatakan bahwa sang ayah bergabung dengan ISIS. Tak lama kemudian, sang ibu menyusul sang ayah dan tidak ada kabar lagi dari mereka.

Pusat rehabilitasi mental yang terletak di utara Aleppo itu dijaga ketat FSA dan pasukan Turki. Belakangan, Turki memang terlibat dalam proses pemulihan mental di sana.

Awalnya, FSA hanya bekerja sama dengan pemerintah lokal. Tapi, kini ada pihak lain, baik dari dalam maupun luar Syria, yang membantu keberlangsungan pusat rehabilitasi mental tersebut.

Sementara itu, rekonsiliasi nasional masih menjadi prioritas bagi oposisi untuk menyelesaikan krisis Syria. Tapi, mereka tidak menginginkan Presiden Bashar Al Assad dalam proses tersebut.

Dalam pertemuan di Kota Riyadh, Arab Saudi, mereka kembali mendesak pemimpin 52 tahun itu segera mundur. ”Oposisi sepakat membentuk pemerintahan baru tanpa rezim lama,” kata juru bicara High Negotiations Committee (HNC).

High Negotiations Committee (HNC) merupakan blok oposisi terbesar di Syria. Dalam pertemuan dengan kelompok-kelompok oposisi lain di Saudi itu, HNC menegaskan bahwa krisis Syria hanya akan berakhir jika Assad mundur.

Sayangnya, Damaskus tidak pernah menggubris permintaan itu. Rezim Assad mengaku siap berdialog demi mewujudkan rekonsiliasi nasional asalkan tidak dilengserkan. (AP/Reuters/CNN/aljazeera/hep/c6/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelaku Teror Manhattan Menyesal Korban Cuma Sedikit


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler