jpnn.com - JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Kajian (Pusaka) Trisakti, Fahmi Habsyi mengingatkan tentang potensi kecurangan di pemilu presiden kali ini. Menurutnya, kasus Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI, Tabloid Obor Rakyat yang melibatkan oknum istana kepresidenan, serta kericuhan karena gagalnya para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hongkong untuk menggunkan hak pilih tak bisa dilepaskan dari upaya kecurangan.
Menurut Fahmi, potensi kecurangan sistematis juga terlihat dari adanya permainan di daftar pemilih tetap (DPT). Ditegaskannya, KPU tak serius daam memutakhirkan daftar pemilih.
BACA JUGA: MK Ubah Cara Sidangkan Sengketa Pilpres
“Sebagai contoh, salah satu kabupaten di Jawa Timur jumlah nama di DPT melebihi DAK2 (data agregat kependudukan. Sedangkan secara keseluruhan ada sekitar 10 juta pemilih yang belum dimutakhirkan. Ini bisa menjadi bom waktu,” katanya di Jakarta, Senin (7/7).
Lebih lanjut Fahmi mengatakan, potensi ghost voters di pemilu presiden kali ini tetap ada. Padahal, katanya, harusnya DPT pilpres lebih baik dari pemilu legislatif.
BACA JUGA: Pemilih di Hongkong Melonjak 400 Persen
Fahmi menegaskan, pembiaran praktek kecurangan bisa memicu kemarahan rakyat hingga berujung gerakan people power. “Saya khawatir 'people power' ini bukan ditujukan kepada KPU atau capres , tapi kepada pemerintahan SBY yang dianggap membiarkan kecurangan terjadi dan tutup mata karena partai yang dipimpinnya telah memutuskan mendukung pasangan capres yang berpasangan dengan besannya sendiri (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, red),” ulasnya.(ara/jpnn)
BACA JUGA: Profesor Unhas Anggap Indonesia Mirip Angkot
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penggunaan Lokasi TPS Dibatasi Pemicu Kisruh di Hongkong
Redaktur : Tim Redaksi