Pembuat Kebijakan Perlu Memaksimalkan Keterlibatan Akademisi Dalam Perumusan Regulasi

Kamis, 19 Desember 2024 – 17:14 WIB
Ilustrasi - Tembakau kering. Pembuat kebijakan perlu memaksimalkan keterlibatan akademisi dalam perumusan sebuah regulasi. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA - Health Policy Analysis Coordinator Evidence-Based Health Policy Center IMERI-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Ahmad Fuady, MSc, Phd mengatakan, keterlibatan akademisi dalam perumusan regulasi belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.

Hal ini terlihat pada tingkat partisipasi akademisi dalam perumusan kebijakan, baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, hingga dinas kesehatan kota/kabupaten.

BACA JUGA: Jadi Ancaman Global, Aksi SIAP Lawan Dengue Diluncurkan

Ahmad Fuady mengatakan hal tersebut saat menjadi pembicara pada kuliah tamu 'Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy' yang diselenggarakan Universitas Indonesia, belum lama ini.

“Contoh di undang-undang, tidak bisa diterapkan 100 persen akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Namun, kalau bicara di daerah itu level keterlibatan akademisi sangat tinggi,” ujar Ahmad seperti dikutip Kamis (19/12).

BACA JUGA: AHF Indonesia Dorong Peran Asia dalam WHO Pandemic Agreement

Menurut Ahmad, untuk level undang-undang keterlibatan akademisi sebesar 30 persen sudah cukup besar.

Biasanya peran akademisi baru dilibatkan ketika produk hukum tersebut selangkah lagi disahkan.

BACA JUGA: Deteksi Dini Down Syndrome, Cordlife Persada Hadirkan Layanan NIPT Lokal di Indonesia

“Kalau mau ditandatangani, keterlibatan akademisi baru ada. Sekarang ini bagaimana caranya keterlibatan akademisi bukan di belakang. Perlu ada proses keterlibatan yang bermakna, bukan sekadar diundang sosialisasi sementara minggu depan sudah mau diketuk baru ditanya, ada masukan apa dalam waktu singkat,” ucapnya.

ahmad Fuady lebih lanjut mengatakan ada beberapa syarat pelibatan bermakna agar akademisi terlibat aktif dalam perumusan suatu kebijakan.

Pertama, sikap saling menghormati antara pembuat kebijakan dan akademisi.

Kedua, bermartabat. Hal ini untuk menunjukkan adanya kesetaraan di antara kedua belah pihak.

Ketiga, inklusivitas.

“Inklusif ini masih jarang, misal menulis aturan tentang kanker, undang orang yang mengalami penyakit tersebut dan minta pendapatnya,” ucapnya.

Dengan mengedepankan ketiga poin tersebut, lanjut Ahmad, diharapkan dapat memperkuat keyakinan para akademisi untuk menjalankan riset dengan metode terbaik untuk hasil yang berkualitas bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan regulasi.

“Tanpa itu, riset tidak bisa mengembangkan apa yang dibutuhkan pembuat kebijakan. Membangun sistem kolaborasi itu dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas riset bagus, termasuk cara pengemasan dan bahasa saat disampaikan kepada pembuat kebijakan,” ucapnya.

Pandangan tersebut diamini mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian & Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Profesor Tikki Pangestu.

Dia menambahkan ada bukti yang cukup kuat bahwa kebijakan yang dibentuk dengan berlandaskan kajian ilmiah dan analisis rasional akan memberikan hasil yang baik.

Oleh sebab itu, pembuat kebijakan menggunakan hasil riset untuk pembentukan regulasi.

“Sebagai justifikasi untuk membuat keputusan yang baik,” kata Tikki.

Sekarang ini, lanjut Tikki, berbagai institut pendidikan tinggi sudah melakukan riset dan pengembangan teknologi yang hasil penelitiannya dianalisis untuk dijadikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan.

Rekomendasi tersebut diharapkan menjadi acuan dalam penyusunan regulasi.

Sebagai contoh, Pemerintah Jepang mendukung penggunaan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan.

Dukungan diberikan setelah melihat hasil kajian ilmiah yang menunjukkan produk tersebut merupakan alternatif untuk beralih dari kebiasaan merokok karena memiliki profil risiko yang jauh lebih rendah.

Hasilnya, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, jumlah perokok pria dan perempuan terus menurun pada tahun 2022.

Prevalensi perokok pria turun 3,4 poin menjadi 25,4 persen. Adapun tingkat perokok perempuan turun 1,1 poin menjadi 7,7 persen.

“Indonesia juga memerlukan kebijakan dalam bidang kesehatan yang rasional dan proporsional. Harus mempromosikan alat baru (produk tembakau yang dipanaskan) ini untuk menurunkan jumlah perokok dan beban biaya kesehatan di Indonesia,” kata Tikki. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cegah Diabetes dengan Dua Cara Ini, Ampuh Menjaga Gula Darah


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler