jpnn.com, JAKARTA - Direktur Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Agus Suprapto Kusmulyono mengatakan, pemerintah berjanji mengakomodasi masukan dari pihak industri terkait Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA).
“Saat ini kami belum mendapatkan draf RUU SDA yang sudah diinisiasi oleh DPR tersebut. Pada dasarnya pemerintah juga memfasilitasi kepentingan investasi. RUU ini akan dibahas oleh pemerintah dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masukan dari pelaku usaha yang disampaikan hari ini”, ujar Agus dalam diskusi bertajuk Peluang dan Tantangan Pengembangan Kebijakan Sumber Daya Air yang diselenggarakan oleh Eurocham Indonesia di Jakarta, Selasa (17/4).
BACA JUGA: Ketua Panja Pastikan RUU SDA Tidak akan Rugikan Industri
Agus menambahkan, pemerintah sedang menginisiasi empat proyek nasional sistem penyediaan air minum (SPAM) untuk masyarakat, yaitu Umbulan, Lampung, Semarang Barat dan Jatiluhur.
“RUU ini kami harapkan juga harus mengakomodasi hal ini,” kata Agus.
BACA JUGA: Paripurna Setujui RUU SDA Menjadi Inisiatif DPR
Sementara itu, Asisten Deputi Infrastruktur Sumber Daya Air Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian Muhammad Zaenal Fatah mengatakan, sumber daya air adalah hak asasi manusia seperti dimandatkan dalam UUD 1945.
“Karena itu, pemanfaatan air harus dijaga dari kelebihan eksploitasi, kerusakan dan polusi. Kami berharap dengan adanya undang-undang baru ini dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pihak, termasuk pihak swasta,” kata Zaenal.
BACA JUGA: BPOM Pastikan Air Minum Dalam Kemasan Aman Dikonsumsi
Menurut dia, masukan dari berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan kebijakan.
“Tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga pelaku usaha,” ujar Zaenal.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (ASPADIN) Rachmat Hidayat mengungkapkan, ada beberapa pasal dalam RUU SDA yang diinisiasi oleh DPR tersebut yang dianggap belum jelas oleh para pelaku usaha di Indonesia.
“Pasal 51 sebagai contoh menyamakan industri AMDK yang merupakan industri manufaktur dengan industri SPAM atau air perpipaan yang merupakan industri infrastruktur. Hal ini berdampak pada izin penggunaan SDA untuk AMDK hanya diberikan kepada BUMN, BUMD dan BUMDes,” jelas Rachmat.
Rachmat menambahkan, banyak pasal lain yang sifatnya juga memberatkan industri.
Dia mencontohkan pasal 47 mengenai persyaratan perizinan memaksa industri untuk harus bekerja sama dengan BUMN, BUMD, BUMDes, memberikan bank garansi dan mengalokasikan sepuluh persen keuntungan untuk konservasi SDA.
Sementara itu, pasal 63 menyatakan bahwa masyarakat, termasuk industri pemakai air, dilarang melindungi sumber air di lahan yang dimilikinya.
“Ketentuan-ketentuan ini tentunya perlu disinergikan dengan peraturan yang sudah ada serta bagaimana mekanismenya. Kami melihat bahwa saat ini persyaratan yang diterapkan pada dunia usaha sudah cukup ketat. Pemerintah memiliki otoritas penuh untuk mencabut izin atas pengusahaan air apabila pelaku usaha melanggar ketentuan yang menjadi ketentuan dalam perizinan,” kata Rachmat.
Dia menjelaskan, saat ini industri AMDK menyerap lebih dari 40 ribu tenaga kerja.
Dari sekitar 900 pelaku usaha, sebanyak 90 persen di antaranya adalah UMKM.
“Mengingat besarnya dampak RUU SDA ini, kami siap diundang oleh Komisi V DPR kapan pun untuk memberikan masukan,” ungkap Rachmat.
Sementara itu, pakar geologi dari Universitas Padjadjaran Hendarmawan mengatakan, pemerintah harus melihat potensi dari setiap daerah.
“Izin harus diberikan sesuai dengan potensi air di setiap daerah. Intinya mengutamakan pemanfaatan air yang berlebih untuk kebutuhan ekonomi masyarakat, dunia usaha dan negara,” kata Hendarmawan. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... RUU SDA Harus Fokus Pada Pengelolaan Sumber Daya Air
Redaktur & Reporter : Ragil