Pemerintah Diingatkan Ancaman Lonjakan Pengangguran Akibat Kebijakan Cukai yang Salah

Rabu, 14 Oktober 2020 – 17:39 WIB
Kanwil Bea Cukai Jawa Tengah DIY mengajak pemerintah daerah untuk bersama membangun kawasan industri hasil tembakau (KIHT). Foto: Humas Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan terkait tarif cukai rokok dinantikan oleh sejumlah pihak di industri tersebut. Cukai terus menjadi sebuah polemik, terlebih ketika Pemerintah dikabarkan akan merombak struktur tarif yang selama ini menempatkan para pabrikan kecil hingga besar dalam tingkatan yang berbeda.

Perubahan kebijakan maupun kenaikan tarif cukai menjadi hal yang dapat mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT), terlebih di tengah kondisi pandemi saat kinerja industri mengalami penurunan. 

BACA JUGA: Cukai Rokok Naik Terlalu Tinggi, Petani dan Pekerja SKT Makin Menderita

Baru-baru ini, Bupati Temanggung, Jawa Tengah Al Khadziq menyatakan, harga jual tembakau di Kabupaten Temanggung yang semakin anjlok. Beberapa faktor penyebab antara lain cuaca yang kurang mendukung, dan keengganan pabrikan untuk menyerap. Disebutkan bahwa kenaikan cukai membuat penjualan pabrikan menurun 15%-20%.

“Kami sangat berharap, pemerintah bisa melindungi daerah-daerah seperti Temanggung, yang setengah penduduknya bergantung pada tembakau. Kami harap kenaikan cukai tidak tinggi-tinggi karena sudah terbukti menurunkan kesejahteraan petani," tuturnya.

BACA JUGA: Petani Tembakau dan Gapero Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan Cukai Rokok 2021

Dengan kondisi tersebut, IHT juga masih dikhawatirkan tentang wacana penyesuaian tarif cukai sebagaimana pernah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 146 tahun 2017 yang kemudian kembali dicantumkan dalam PMK 77 Tahun 2020.

Berbagai kalangan mendorong agar wacana penyederhanaan tarif cukai ini tidak perlu dihidupkan kembali karena adanya penyederhanaan struktur cukai membuat industri rokok berskala kecil dan menengah yang volume produksinya lebih rendah untuk naik ke golongan yang lebih tinggi.

BACA JUGA: Struktur Tarif Cukai Rokok jadi Celah Pengusaha, KPK Minta Harus Lebih Sederhana dan Transparan

Apabila hal tersebut terjadi, maka secara otomatis tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) untuk merek-merek rokok dari produsen golongan 2 dan 3 ikut melonjak. Naiknya pengolongan yang disertai HJE ini tentu akan menggerus pasar produsen yang terdampak, dikarenakan kini mereka harus berada di tingkatan yang sama dengan perusahaan-perusahaan rokok besar yang memang sudah lebih dahulu berada di posisi tersebut.

Pada akhirnya, hal ini berpotensi besar mengeliminasi pabrikan-pabrikan yang lebih kecil, baik di golongan 2 dan 3, serta memberi keuntungan bagi pabrikan golongan 1 yang sudah mempunyai penguasaan pasar mayoritas.

Lebih lanjut, jika jumlah pabrikan tembakau kecil dan menengah semakin sedikit, hal ini akan berdampak pada keberlangsungan petani tembakau. Hal ini dikarenakan beragamnya jenis dan kualitas tembakau di Indonesia, yang selama ini diserap oleh kategori perusahaan yang berbeda pula. Kerugian petani tembakau sudah tercermin setelah adanya kenaikan tarif cukai dan HJE tembakau, masing-masing sebesar 23% dan 35% pada awal tahun ini, yang sontak membuat hasil panen petani tembakau tidak laku selama 6 bulan.

Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Firman Soebagyo menyatakan rencana penyederhanaan tarif cukai dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM yang sempat bergulir dinilai sangat merugikan pabrikan. Karenanya, ia meminta pemerintah membatalkan rencana penyederhanaan tarif cukai tembakau. Penyederhanaan tarif cukai dikhawatirkan merugikan industri hasil tembakau skala menengah dan kecil.

"Jika itu diterapkan dapat mematikan industri pertembakauan khususnya yang masuk pada golongan III," kata Firman. Menurut politisi partai Golkar ini, rencana tersebut jangan dilakukan secara terburu-buru, terlebih pada rencana penggabungan volume produksi. Sebab, kedua jenis produk hasil tembakau, SKM dan SPM sangat berbeda. "Intinya, rencana ini harus diperhitungkan dengan baik dan didiskusikan dengan semua pemangku kepentingan," paparnya.

"Dampak negatifnya, golongan menengah dan kecil yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi akan gulung tikar. Jumlah pabrik rokok golongan menengah dan kecil jumlahnya cukup banyak terutama di Jawa Timur, kalau ini dilakukan, terjadi PHK secara besar-besaran,” ujarnya.

Lebih lanjut, beberapa pertimbangan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan simplifikasi cukai, bahwa IHT di Indonesia sangat beragam dari aspek modal, jenis, hingga cakupan pasar.

“Pemerintah mesti memperhatikan keberlangsungan lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja dan pelaku yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap IHT. Jangan sampai aturan tersebut menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktik oligopoli bahkan monopoli," tutur Firman.

Firman menambahkan, jika peraturan simplifikasi cukai dilakukan, tren investasi di sektor IHT akan menurun dan mengancam pabrikan rokok nasional. “Sebaiknya pemerintah harus mengutamakan kepentingan industri rokok nasional. Dibutukan regulasi yang melindungi industri hasil tembakau nasional,” tegasnya.

Peneliti senior Universitas Padjadjaran (Unpad), Bayu Kharisma menuturkan, jika simplifikasi tarif cukai tembakau diterapkan, justru berpotensi menurunkan penerimaan negara. Hal itu tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang ingin meningkatkan sumber penerimaan negara.

"Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji secara matang dan hati-hati, bahkan tidak perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau," kata Bayu.

Menurutnya, untuk melihat pengaruh dari simplifikasi tarif cukai rokok terhadap penerimaan negara, harus menggunakan model dan metode ekonometrik. Data yang digunakan adalah panel data, di mana jenis rokok sebagai observasi dan waktu yang digunakan antara Januari 2014 - April 2019.

"Hasil analisis regresi menunjukan, variabel simplifikasi tarif cukai rokok berpengaruh negatif signifikan terhadap variabel penerimaan negara. Hasil ini konsisten ketika kami menambah maupun mengganti variabel kontrol dari model. Turunnya penerimaan negara diduga diakibatkan adanya penurunan penjualan rokok setelah diberlakukan simplifikasi," tutur Bayu.

Lebih lanjut, simplifikasi tarif cukai juga berdampak dari sisi persaingan usaha. Wacana simplifikasi berpotensi akan mendorong ke arah monopoli.

“Maka, kebijakan cukai dan struktur tarif cukai yang ada saat ini perlu dipertahankan sebagai bagian keberpihakan pemerintah pada industri rokok secara nasional, bukan pada perusahaan rokok golongan I saja," tegas Bayu.

"Jika direalisasikan, kebijakan ini akan sangat merugikan bagi pendapatan pajak negara," pungkasnya.

Reformasi fiskal yang diusung pemerintah lewat agenda kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai cukup menuai pro dan kontra, terutama di kalangan pengusaha rokok skala kecil dan menengah. Para pelaku IHT mengharapkan bahwa Pemerintah dapat bersikap bijak dalam menentukan kenaikan cukai di tahun depan mengingat kondisi yang tengah dihadapi berbagai industri saat ini.

Mereka juga berharap bahwa Pemerintah dapat tetap mendukung keberlanjutan IHT yang beragam di Indonesia dengan mempertahankan struktur saat ini yang mengakomodasi secara adil seluruh produsen rokok di Indonesia. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler