jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah diimbau perlu berhati-hati dalam pengenaan cukai plastik. Itu karena penarikan cukai plastik hanya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan menjadi beban bagi kalangan industri yang tengah bertumbuh saat ini.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita mengatakan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif pada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri yang sudah mulai bertumbuh saat ini.
BACA JUGA: Cukai Plastik Rp 30 Ribu Per Kg, Inflasi Tidak Terlalu Besar
"Itu termasuk di dalamnya industri kecil menengah yang mencapai 99,7% dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir mencapai 1,68 juta unit usaha," kata Reni dalam diskusi publik bertajuk “Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal?” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online (FJO) di Jakarta, Selasa (21/11).
Dia mengkhawatirkan penarikan cukai plastik nantinya justru akan mengganggu sisi permintaannya yang pasti akan berkurang. Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah.
BACA JUGA: Daya Saing Industri Bisa Turun Jika Cukai Plastik Diterapkan
"Ini juga yang harus disikapi, karena demand tetap ada, tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” ujarnya.
Dalam kaitannya dengan plastik, Kementerian Perindustrian melihatnya dari sisi lingkungan hidupnya. Kalau menganggap kemasan plastik, sebagai limbah, itu salah. Karena itu masih bisa diolah lagi bahkan bisa menjadi bahan baku.
BACA JUGA: Cukai Plastik Diberlakukan, Penyelundupan Bakal Marak
Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut Reni, pasti ada koreksi di harga yang akan ditanggung oleh konsumen. Kemudian jika ada koreksi harga, lanjutnya, pasti permintaan akan terkoreksi juga.
“Takutnya dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” ucapnya.
Dampaknya, kata Reni, bersiap-siap utilisasi industri nasional akan terkoreksi menjadi lebih rendah. Kemudian, daya saingnya juga menjadi lebih rendah karena utilisasi menurun.
Ini akan diisi oleh pangsa impor. Impor juga bukan hanya di produk hilir yang dihasilkan seperti produk makanan dan minuman dalam kemasan, ini akan diisi oleh produk impor dan juga untuk bahan bakunya.
“Padahal PR-nya adalah bagaimana menumbuhkan lagi industri ini dari keterpurukannya pada dua tahun Covid-19, dan saat ini sudah mulai bergerak lagi tetapi ada wacana seperti ini. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya nanti untuk membangkitkan lagi industri yang sudah mulai tumbuh ini karena adanya penarikan cukai plastik ini,” tuturnya.
Dia menegaskan bahwa kemasan plastik itu bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk di sini untuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki.
"Dengan pengenaan cukai ini, industri daur ulang plastik kita akan kekurangan bahan baku karena memang di industri dalam negerinya juga terkoreksi,” ungkapnya.
Dia menegaskan yang namanya penerimaan negara, dalam hal ini cukai seharusnya dioptimalkan penggunaannya untuk kemakmuran dan juga pertumbuhan industri yang saat ini masih menjadi kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Jadi, perlu dipertimbangkan, perlu dipikirkan dampak dari cukai. Kemudian penerimaan negara dari cukai ini akan dikelola dengan baik untuk kemakmuran juga.
Dia menjelaskan yang namanya pengenaan cukai bukan strategi yang utama atau yang prioritas menurut kami. Karena yang kendalanya dalah pengelolaan sampahnya, walaupun di beberapa perkantoran ataupun masyarakat sudah mengenal ada pemisahan sampah, tetapi begitu di tempat pembuangan akhir siapa yang mengawal.
Apakah sudah menyiapkan untuk yang bahan organik dikelola seperti apa, kemudian yang anorganik seperti apa?
”Mengurangi ataupun kepedulian kita terhadap lingkungan bukan satu-satu diselesaikan dengan pengenaan cukai, tetapi juga harus melihat bahwa kemasan plastik ini sebenarnya ada kegiatan bisnis yang bisa kita ciptakan,” pungkas Reni. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad