jpnn.com, JAKARTA - Analis Keimigrasian Ahli Utama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Irjen. Pol. (Purn) Ronny F. Sompie mengatakan mafia tanah adalah mafia hukum.
Menurutnya, pihak yang bisa merebut hak kepemilikan tanah milik orang lain pasti bekerja sendirian.
BACA JUGA: Jual Pulau ke WNA Langgar UU Agraria
"Dalam urusan perkara perdata, orang itu harus bekerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain," kata Sompie dalam diskusi terbatas bertajuk 'Konflik Pertanahan' di Jakarta, Minggu (3/7).
Dia menjelaskan bahwa bukan mustahil pihak-pihak tersebut sambil menjalankan perdata melakun gempuran melalui media dan penekanan dengan pengaduan pidana.
BACA JUGA: Rezim Berganti, UU Agraria Tak Pernah Direvisi
Hakim perkara perdata sering bergeming tidak memeriksa perkara secara materiil dan pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan.
"Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin,” ujar mantan Kadiv Humas Polri.
BACA JUGA: MK Tolak Uji Materi UU Ketenagakerjaan dan Agraria
Ketua Pengurus Daerah Ikaatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang Mumu Mugaera Djohar menambahkan, sengkarut masalah pertanahan di Indonesia disebabkan sikap pemerinah yang tidak konsisten dalam menegakkan aturan.
UU Pokok Agraria Tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA mencabut agrarische wet (Undang-Undang Agraria) yang diterbitkan Belanda pada 1870.
Sesuai dengan aturan, segala bentuk hak-hak tanah yang lama berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987.
Namun, masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti Leter C atau girik, Leter D atau petok, verponding.
Tragisnya, dalam banyak kasus perdata tanah, Leter C atau Leter D masih diterima sebagai alat bukti, padahal sudah pernah ditegaskan bahwa keabsahan hak-hak lama maupun Leger C dan Leter D sudah tidak berlaku lagi.
Leter C adalah catatan mengenai pajak tanah, bukan bukti kepemilikan tanah. Menurut notaris itu, tidak ada lagi Leter C yang asli, sudah digantikan dengan catatan Leter C.
"Hal-hal seperti ini mestinya dipahami oleh para aparat penegak hukum, termasuk para hakim,” ujar Mugaera.
Kegagalan para hakim memahami peraturan pertanahan sering mengakibatkan putusan perkara menyimpang dari kepastian hukum dan kepastian keadilan.
Pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik atau petok.
“Padahal zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi Leter C yang asli," ungkap Mugaera. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh