jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Ariyo Bimmo menyarankan pemerintah menelaah berbagai bukti ilmiah dan studi kasus negara lain yang telah sukses menggunakan produk tembakau alternatif sebagai strategi penurunan jumlah perokok.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya tidak melarang produk tembakau alternatif, melainkan mengatur produk tersebut dalam sebuah kerangka regulasi yang tepat.
BACA JUGA: Batasan Produksi SKT Dinaikkan, Banyak Pihak Diuntungkan
Dia menambahkan Ariyo, pengaturan tentang produk tembakau alternatif ini juga harus dibedakan dengan rokok konvensional.
“Agar perokok yang memutuskan untuk tetap merokok mendapat dukungan untuk beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko, maka produk tembakau alternatif harus diatur sesuai dengan tingkat risiko dan profil produk yang dimilikinya,” kata Ariyo, Rabu (28/11).
BACA JUGA: Produksi Rokok Menurun, Pemerintah Sulit Kejar Target Cukai
Selain itu, masyarakat, terutama perokok dewasa, juga memiliki hak untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang akurat tentang produk tembakau alternatif ini.
Dengan demikian, masalah kesehatan akibat rokok dapat berkurang. Menurut dia, regulasi itu akan lebih bersifat menyeluruh jika dipadankan dengan penetapan tarif cukai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.146/PMK.010/2017.
BACA JUGA: Industri Sigaret Kretek Tangan Harus Dilindungi
“Tidak hanya melalui penetapan biaya cukai yang seharusnya lebih rendah daripada rokok konvensional, pemerintah juga perlu menyusun peraturan produk tembakau alternatif ini yang termasuk aturan produk, penjualan, promosi, iklan, sponsorship, tempat di mana produk tersebut bisa dikonsumsi, serta batasan usia penggunaan produk tersebut,” ujar Ariyo.
Berdasarkan laporan Status Global Pengurangan Bahaya Tembakau 2018 yang bertajuk Tidak Ada Api, Tidak Ada Asap, sebanyak 62 negara telah menerapkan peraturan bagi produk tembakau alternatif.
Peraturan yang diterapkan oleh masing-masing negara tersebut sudah ada yang terfokus, tetapi ada juga yang masih diatur di bawah peraturan pengendalian tembakau.
Beberapa negara tersebut antara lain Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan, dan lainnya.
Laporan yang dipublikasikan per dua tahun tersebut untuk kali pertama memetakan ketersediaan dan penggunaan produk nikotin yang lebih rendah risiko atau safer nicotine product (SNP), tanggapan peraturan terhadap SNP, dan potensi kesehatan masyarakat dari pengurangan bahaya tembakau melalui SNP di ranah global, regional, dan nasional.
Berdasarkan proses pemetaan dan studi kasus yang dilakukan, beberapa negara berhasil menurunkan jumlah perokok melalui pemanfataan SNP atau yang juga dikenal dengan sebutan produk tembakau alternatif.
Laporan ini merekomendasikan pemerintah sebaiknya menelaah mengenai pemanfaatan produk tembakau alternatif secara lebih jauh dan menggunakan produk tersebut sebagai salah satu upaya untuk menurunkan jumlah perokok.
SNP yang terdiri dari produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, rokok elektrik atau vape, dan snuss ini menitikberatkan pada pemanfaatan produk tembakau yang mengandung nikotin namun memiliki potensi pengurangan risiko kesehatan yang signifikan daripada rokok konvensional.
Sebab, penggunaannya yang tidak melalui proses pembakaran. Dengan tidak adanya proses pembakaran, zat karsinogenik seperti TAR yang dapat memicu timbulnya penyakit berbahaya pada tubuh bisa tereliminasi.
“Banyak perokok yang sejatinya membutuhkan asupan nikotin, tetapi mendapatkan kerugian (penyakit berbahaya) akibat paparan TAR yang dihasilkan dari proses pembakaran,” tulis laporan tersebut, Selasa, (27/11).
Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa banyak perokok yang memiliki keinginan untuk berhenti, tetapi merasa kesulitan karena sudah telanjur ketergantungan.
“Banyak di antaranya yang berhasil dengan sendirinya dan ada pula yang berhenti dengan bantuan produk kesehatan, namun banyak pula yang gagal,” tulis laporan tersebut.
Berdasarkan laporan itu, Indonesia termasuk sebagai negara yang belum memiliki peraturan terkait produk tembakau alternatif.
Padahal, Indonesia termasuk dalam bagian negara yang memiliki jumlah perokok yang tinggi, yaitu di atas 40 persen dengan 65 persen di antaranya adalah pria dewasa. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasar Rokok Ilegal Sebaiknya Diisi Sigaret Kretek TanganÂ
Redaktur & Reporter : Ragil