Sementara, rencana restrukturisasi atau pembayaran utang dengan saham dinilai hanya akan melindungi kepentingan pemilik lama TPPI, dan cenderung merugikan keuangan negara.
Demikian terungkap dalam diskusi bulanan yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S) di Hotel Sultan Jakarta
BACA JUGA: Leluasa Ekspor Tanpa Dikenai Dumping
Hadir sebagai pembicara Kepala Divisi Humas, Formalitas dan Sekuriti Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMigas) Gde Pradnyana, Ketua Komite Tetap Hulu Migas KADIN Firlie Ganinduto, dan Wakil Direktur Reforminer Institute, Komaidi.Firlie menilai, pemerintah tidak serius dan tidak memiliki political will dalam menyelesaikan utang PT TPPI yang berlangsung sejak 2002 itu
"Utang besar tapi tidak ada penyelesaian
BACA JUGA: Lapangan Tiaka Kembali Beroperasi
Kami prihatin,” ujar Firlie yang juga Direktur PT Benakat Petroleum Energy Tbk iniFirlie juga mengatakan, persoalan utang TPPI tidak mengedepankan profesionalisme
BACA JUGA: Subsidi BBM Diusulkan jadi Dana Riil
Mengingat pemilik perusahaan petrokimia ini miliki kedekatan politik dengan penguasa, sehingga mendapatkan berbagai keistimewaan“Perilaku bisnis tersebut tidak adil dan merusak pasarPersoalan TPPI akan mempengaruhi iklim investasi," ujarnya lagi.Seperti diketahui, TPPI berutang ke pemerintah (BPPN- sekarang PT Perusahaan Pengelola Aset/PPA) Rp 3,2 triliun, kepada PT Pertamina Rp 4,7 triliun, dan BP Migas Rp 1,5 triliunTotalnya Rp 9,5 triliunPada 26 Mei 2011, "term sheet" (lembar persyaratan) restrukturisasi utang TPPI bersama induk perusahaan PT Tuban Petrochemical Industries dan anak perusahaan lainnya, telah ditandatangani.
Sesuai "term sheet" itu penandatanganan Master of Closing Agreement (MCA) TPPI dijadwalkan 26 Juli 2011Namun, kemudian tertunda menjadi 15 Agustus 2011, dan terakhir ditunda lagi menjadi 26 Agustus 2011.
Totok Daryanto menekankan TPPI harus membayar lunas semua utang-utangnya kepada Pertamina dan BP Migas, sesuai kesepakatan sebelumnyaKalau TPPI tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, dan akan mengganggu kelangsungan operasional perusahaan, maka utang tersebut harus dikonversi menjadi saham.
Komaidi dari Reforminer Institute mengaku tidak setuju jika utang TPPI itu direstrukturisasiMenurutnya, penyelesaian utang yang paling menguntungkan negara adalah Pertamina mengakuisisi TPPIBahwa TPPI bisa dinyatakan default dan sahamnya diberikan untuk diakuisisi
Akuisisi Pertamina atas TPPI juga akan menjawab kebutuhan nasional akan kilang refinaryKapasitas kilang BBM domestik yang baru 950.000 barel per hari (produksi -/+ 700.000), sementara kebutuhan BBM Nasional sudah sekitar 1,4 juta barel per hari
“Ini merupakan salah satu argumentasi dan bentuk penyelesaian politis atas utang TPPI yang membutuhkan komitmen pemerintah,” ujarnya.
BP Migas sendiri lebih setuju jika TPPI dinyatakan defaultMenurut Gde Pradnyana, utang TPPI kepada BP Migas mencapai USD 200 juta lebih, termasuk penaltySalah satu yang telah dilakukan BP Migas untuk mengurangi utang TPPI adalah pencairan dana jaminan pembayaran pada 15 Maret 2011.
BP Migas juga berusaha mengambil alih L/C dan sebagainya, agar utang TPPI bisa terkurangiDengan cara itu utang TPPI ke BP Migas telah berkurang menjadi USD 175 juta. BP Migas sendiri saat ini memegang jaminan fidusia TPPI dalam jumlah cukup- besar“Jadi kalau mereka (TPPI) default, kita secure (aman),” kata Gde lagi.(max)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiongkok Bidik Pasar Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi