jpnn.com - JAKARTA - Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menilai pemerintah perlu menjaga kemandirian dalam teknologi keamanan siber.
Pemerintah juga dinilai perlu mempertimbangkan untuk melibatkan pemain lokal berkualitas dalam peningkatan keamanan siber Indonesia.
BACA JUGA: Hati-Hati, HP Terlalu Banyak Aplikasi Mudah Diretas
Hal ini sangat penting menyusul terjadinya Blue Screen of Death (BSOD) pada 19 Juli 2024 lalu, di mana mengakibatkan sekitar 8,5 juta sistem Windows mogok di seluruh dunia.
Kerugian yang ditimbulkan senilai US$ 500 juta atau Rp 7,86 triliun pada Delta Airlines AS dan lebih dari AU$ 1 miliar atau Rp 10,41 triliun pada perusahan Australia.
BACA JUGA: Paypal Sempat Diblokir Kemenkominfo, Pakar IT Sebut soal Kedaulatan Digital
Insiden tersebut juga berdampak buruk pada transparansi, medis, dan sistem operasi internal pemerintah di Indonesia.
"Hingga sekarang lembaga dan sistem pemerintah Indonesia mengandalkan sistem operasi (komputer) yang dikembangkan oleh AS. Saya kira ini akan memburukkan ancaman terhadap keamanan siber dan kebocoran data di Indonesia," ujar Alfons dalam keterangannya, Jumat (23/8).
BACA JUGA: Akun Ganjar di YouTube Diretas, Pakar Keamanan Siber Merespons Begini
Menurut Alfons, insiden gangguan akses Windows yang terjadi terutama pada sektor yang secara luas menggunakan sistem Windows Microsoft AS.
Karena itu terdapat risiko peretas menggunakan metode serupa untuk menyerang sistem nasional dan mencuri informasi dan data di Indonesia.
"Saya kira pemerintah dalam hal ini juga harus memperhatikan disaster recovery dan business continuity dalam pengelolaan pusat data nasional," ujar Alfons dalam keterangannya, Jumat (23/8).
Dalam laporan analisis kecelakaan (BSOD) yang dirilis CrowdStrike 6 Agustus 2024, insiden disebabkan kesalahan yang serius karena pembaruan produk sensor.
CrowdStrike mengakui alasan crash sistemnya ketidakcocokan antara 21 input yang dikirim ke Content Validator melalui inter-process comminication (IPC) Template Type, dengan 20 input yang diberikan ke Content interpreter dan kesalahan tersebut lolos berbagai pengujian.
“Ini adalah masalah ketidaksesuaian yang sangat dasar dan fundamental,” kata Toby Murray, Profesor madya dari Fakultas Komputer dan Sistem Informasi Universitas Melbourne.
“Pengembang CrowdStrike mengakibatkan ketidak konsistenan mencolok antara format file data dan kode perangkat lunak. Itu berarti peninjauan dan pejaminan kualitas yang paling dasar tidak dilakukan dengan benar,” katanya. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Akun YouTube Ganjar Pranowo Diretas, Pakar Keamanan Siber Mengingatkan Begini
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang