Pemerintah Tak Serius Tangani Royalti Batut Bara

Jumat, 12 September 2008 – 07:11 WIB
JAKARTA - Koordinator Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch, Firdaus Ilyas, menilai pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan masalah royalti batubara terhadap negara.

“Indikasinya, hingga kini pemerintah tidak membuat tenggat waktu dan sanksi yang tegas jika telat atau tidak membayar," tegas Firdaus Ilyas dalam Diskusi "Kisruh Royalti, Pajak dan Pungutan Lain Pada Industri Tambang Batubara" di gedung DPD RI Jakarta, Kamis (11/9).

Yang terlihat, lanjut Firdaus justru adanya kegamangan dari Pemerintah dalam menyelesaikan kasus iniDisatu sisi pemerintah ingin menyelamatkan keuangan negara dengan melakukan penagihan yang disertai pencekalan

BACA JUGA: PDI Tolak, Golkar Pasrah ke MPR

Disisi lain pemerintah terkesan ragu dalam menyelesaikannya.

Padahal sebelumnya lima dari enam perusahaan tambang batu bara pemegang kontrak tambang generasi I sepakat menyetor uang jaminan sebesar Rp600 miliar
PT Adaro Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) masing-masing akan membayar Rp150 miliar, PT Arutmin Indonesia Rp100 miliar, PT Berau Coal Rp90 miliar, dan PT Kideco Jaya Agung Rp110 miliar.

“Hanya saja, dalam kesepakatan antara sejumlah perusahaan tersebut dengan Kepala BPKP tidak disebut jangka waktu penyetoran,” tutur Firdaus.

Sementara Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad, Romli Atmasasmita dalam kesempatan yang sama berpendapat bahwa keputusan Direktorat Jenderal Imigrasi mencekal enam perusahaan batubara yang dinilai lalai dalam membayar utang royalti ke negara juga tidak efektif.

Mestinya, mereka yang dicekal, jajaran direksi PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Adaro, PT Berau Coal, PT Libra Utama Intiwood, dan PT Citra Dwipa Finance) harus ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian

BACA JUGA: Chevron Rugikan Negara USD 1,2 M

"Sebab, tindakan keenam perusahaan batubara tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi vide UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001."

Karena itu kepolisian dan KPK harus turun tangan karena ini terkait dengan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana, tegas  Romli.

Menurut dia, ada tiga alasan utama kenapa ini dimasukkan sebagai tindak pidana korupsi, pertama karena penunggak royalti telah melakukan perbuatan yang sifatnya melawan hukum yaitu dengan sengaja tidak mau membayar selama kurang lebih tujuh tahun dengan nilai Rp7 triliun.

Kedua, telah memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan tidak membayar royalti Rp7 triliun
Ketiga negara telah mengalami kerugian Rp7 triliun yang seharusnya telah dapat digunakan negara untuk kepentingan rakyat.

“Tidak cukup dengan pencekalan, tetapi harus dilakukan pembekuan aset keenam perusahaan tersebut agar asetnya tidak dilarikan ke luar negeri yang notabene masuk dalam aset negara (royalti),” tegasnya.

Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochammad Yasin mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan BPKP dan Departemen Keuangan untuk mempelajari kasus tersebut.
“KPK tengah mengumpulkan data dan informasi

BACA JUGA: Tak Bayar Royalti, Pelanggaran Pidana

Kami lebih senang lagi kalau ada laporan dari masyarakat tentang kasus tersebut,” ujarnya.

Dia menilai positif desakan masyarakat agar KPK segera menangani kasus pengemplangan royalty yang melibatkan PT Adaro Indonesia dan sejumlah perusahaan yang lain“KPK akan mempelajari peraturan yang ada di balik kewajiban memungut royalty bagi perusahaan batubara tersebut,” kata Yasin(Fas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tim Sukses Tentukan Kemenangan Calon


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler