jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pemerintah terbukti mengistimewakan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia. Dia menjelaskan di tengah tren integritas ekonomi dan kawasan, pemerintah seharusnya memberi perlindungan terhadap kepentingan tenaga kerja lokal dari gempuran tenaga kerja asing. "Bukan malah sebaliknya," kata Fadli, Kamis (19/4).
Fadli menjelaskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 tahun 2018 tentang Penggunaan TKA sama sekali tidak berpihak pada kepentingan tenaga kerja lokal. Fadli menilai kebijakan ini salah arah.
BACA JUGA: Agus Joko Pramono Terpilih jadi Anggota BPK
Dia mengingatkan saat kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo berjanji menciptakan 10 juta lapangan kerja bagi anak-anak bangsa. Namun, tiga tahun berkuasa pemerintah malah terus-menerus melakukan relaksasi aturan ketenagakerjaan bagi orang asing.
Menurut dia, melalui integrasi ekonomi ASEAN, serta berbagai ratifikasi kerja sama internasional lainnya, tanpa ada pelonggaran aturan sebenarnya arus TKA sudah merupakan sebuah keniscayaan. Nah, pada situasi itu yang sebenarnya dibutuhkan justru adalah bagaimana melindungi tenaga kerja sendiri.
BACA JUGA: Bangganya Ketua DPR pada Dokter Gigi Cantik Ini
“Kita selama ini sudah ugal-ugalan dalam membuka pasar domestik kita bagi produk-produk luar. Jangan kini pasar tenaga kerja kita juga dibuka untuk orang asing tanpa ada perlindungan berarti," katanya.
"Apalagi, dibandingkan negara ASEAN lain, kita saat ini memang paling tidak protektif terhadap kepentingan nasional," tambah Fadli.
BACA JUGA: Istana: Isu Tenaga Kerja Asing Pasti Digoreng
Dia menjelaskan berdasar data Indef 2017, di bidang perdagangan Indonesia hanya memiliki hambatan nontarif sebanyak 272 poin. Padahal, Malaysia dan Thailand saja, masing-masing punya hambatan nontarif sebanyak 313 poin dan 990 poin. Kecilnya jumlah hambatan nontarif di Indonesia menunjukkan buruknya komitmen dalam melindungi industri dan pasar dalam negeri. Pemerintah seharusnya serius melindungi pasar dan industri dalam negeri, karena itu mewakili kepentingan nasional.
“Celakanya, sesudah pasar kita diberikan secara murah kepada orang lain, kini bursa kerja di tanah air juga hendak diobral kepada orang asing. Bahaya sekali keputusan pemerintah ini," katanya.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemnakertrans) per Maret 2018 ada sekitar 126 ribu TKA di Indonesia. Bayangkan, kata Fadli, angka ini melonjak 69,85 persen dibandingkan jumlah TKA pada Desember 2016, yang masih 74.813 orang. "Sebelum ada Perpres 20/2018 saja lonjakannya sudah besar, apalagi sesudah ada Perpres ini,” ungkapnya.
Masalahnya lagi, kata Fadli, itu baru data tenaga kerja legal. Dia mengaku tak tahu data tenaga kerja ilegal yang masuk ke Indonesia. Yang jelas, sepanjang 2017 sama-sama menyimak kasusnya ada ribuan.
"Saya yakin jumlah rilnya jauh lebih besar ketimbang yang terungkap di media," katanya.
Fadli mencontohkan, di sebuah perusahaan nikel di Sulawesi Tenggara tahun lalu ditemukan bahwa dari 742 TKA asal Tiongkok yang bekerja di sana, 210 di antaranya ilegal. Artinya, hampir 30 persennya tenaga kerja ilegal.
"Menurut data resmi, tenaga kerja asing legal dan ilegal mayoritas memang berasal dari Tiongkok," kata Fadli.
Karena itu, Fadli menyebut terbitnya Perpres 20/2018 ini berbahaya karena sebelum adanya beleid baru ini saja Indonesia sudah kewalahan mengawasi TKA yang masuk, apalagi sesudah kerannya kini dibuka lebar-lebar.
Sebagai catatan, saat ini jumlah pengawas hanya 2.294 orang. Bayangkan, mereka harus mengawasi sekitar 216.547 perusahaan dan ratusan ribu tenaga kerja asing. "Mana bisa?" tegasnya.
Dengan angka itu, seorang petugas harus mengawasi sekitar 94 perusahaan legal. Menurut Fadli itu tidak mungkin dilakukan. Apalagi mereka harus bisa mengawasi TKA juga. Idealnya, seorang petugas hanya mengawasi lima perusahaan saja.
"Sehingga, kita setidaknya butuh sekitar 20 hingga 30 ribuan pengawas," paparnya.
Pengawasan terhadap TKA juga semakin lemah. Sebab, kini pengawasan ketenagakerjaan dipindahkan ke level provinsi, bukan lagi di kabupaten/kota. Dulu saja, waktu pengawasannya masih di kabupaten/kota, ada sekitar 150 kabupaten dan kota yang tak memiliki pengawas.
"Beleid ketenagakerjaan yang baru ini benar-benar tak punya kontrol," tambah Fadli.
Dia menilai pemerintah tidak peka terhadap kepentingan tenaga kerja. Di tengah kenaikan jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tanah air, dari sebelumnya 1.599 kasus pada 2016 menjadi 2.345 kasus pada 2017, pemerintah malah memberi keleluasaan aturan ketenagakerjaan bagi orang asing.
Menurut dia, ini bukan kali pertama pemerintahan Joko Widodo menerbitkan beleid yang tak berpihak pada kepentingan buruh lokal. Pada 2015, pemerintah juga telah mengubah Permenakertrans Nomor 12 tahun 2013 yang isinya mengatur tentang syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing. Ketentuan ini telah dihapus oleh pemerintah melalui Permenakertrans Nomor 16 tahun 2015.
“Pekerja asing kini tak lagi diwajibkan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia," sesal Fadli.(adv/boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengawasan Lemah Picu Banyak Travel Umrah Nakal
Redaktur : Tim Redaksi