Mulai tanggal 28 April para pemetik buah di Australia akan mendapatkan gaji minimum per jam dan ini diperkirakan akan membuat harga buah dan sayur di negara itu menjadi lebih mahal.
Ini adalah perubahan besar paling penting di bidang pertanian di Australia di mana sekarang setiap pekerja tidak lagi boleh bekerja dengan bayaran per keranjang.
BACA JUGA: Singapura Eksekusi Mati Pria Berkebutuhan Khusus Asal Malaysia karena Kasus Narkoba
Mereka sekarang harus mendapat upah minimum per jam yaitu sekitar A$25,41 (sekitar Rp250 ribu).
Penerapan gaji minimum per jam tersebut yang dimulai tanggal 28 April karena keputusan Fair Work Commision tahun lalu.
Keputusan tersebut banyak ditentang oleh kelompok petani yang mengatakan dengan adanya upah minimum sekarang pekerja yang produktif tidak akan termotivasi lagi untuk bekerja lebih keras.
Direktur Eksekutif Petani Penghasil Buah-buahan Tasmania, Peter Cornish, mengatakan bahwa upah minimum per jam tersebut merupakan hal yang 'bagus' dan sudah banyak hal dilakukan untuk memastikan bahwa para petani akan mematuhi aturan tersebut.
BACA JUGA: Lokasi Pembunuhan Massal Penduduk Aborigin di Queensland Kembali ke Tangan Pemiliknya
Namun, menurutnya di sisi lain hal itu akan berpengaruh terhadap meningkatnya harga di supermarket bagi konsumen.
"Akan ada kemungkinan kenaikan ongkos produksi. Apakah nantinya akan berpengaruh pada harga jual saya kira itu adalah masalah lain, namun yang pasti akan terjadi kenaikan ongkos produksi," katanya.
"Bila mereka harus membayar lebih banyak bagi pekerja yang sekarang belum mendapatkan upah minimum, itu berarti akan ada ongkos yang lebih tinggi dan nantinya membuat harga buah juga naik." Bagus untuk pekerja pertanian kata serikat pekerja
Serikat Pekerja Australia (AWU) mengajukan kasus ini ke Fair Work Commision setelah selama bertahun-tahun muncul pemberitaan bahwa pekerja pemetik buah mendapat bayaran yang sangat rendah, terutama mereka yang belum berpengalaman.
Komisi yang menangani masalah yang dialami para pekerja di Australia tersebut dalam keputusannya mengatakan sistem pembayaran upah per keranjang bagi pemetik buah yang sudah diatur dalam UU Hortikultur sudah tidak memadai lagi.
Sekretaris Nasional AWU, Daniel Walton, mengatakan beberapa petani menggunakan sistem pembayaran per keranjang itu untuk menekan biaya produksi dengan ada pekerja yang hanya mendapat bayaran A$3 (sekitar Rp30 ribu) per jam.
"Pembayaran upah rendah terjadi di mana-mana. Inilah bukti yang kami ajukan dan komisi yang bersifat independen melihat bukti yang cukup untuk menghentikan sistem pembayaran seperti itu.'
"Sistem pembayaran per keranjang memang tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi para pekerja, sebenarnya dimaksudkan agar pekerja mendapat bayaran lebih tinggi. Namun, pada kenyataannya itu tidak selalu terjadi."
Daniel Walton mengatakan para petani masih bisa memberikan dorongan kepada pekerja untuk bekerja lebih produktif yang pada akhirnya memberi manfaat bagi semua pihak.
"Yang hendak kita lakukan adalah menghentikan usaha dari para petani, dari contoh yang sudah banyak terjadi sebelumnya membayar pekerja sangat rendah di bawah upah minimum," katanya.
Para petani pada umumnya memberikan reaksi yang beragam mengenai penerapan aturan pembayaran upah minimum, tetapi mengatakan bahwa sistem baru ini akan mengubah model pembayaran yang sudah lama berlangsung di Australia sebelumnya.
Laurie Adams adalah manajer umum ladang pertanian Burlington Berries yang terletak di Launceston di negara bagian Tasmania.
Dia sudah melihat penerapan yang sama dilakukan di Inggris di tahun 2012 dan memperkirakan hal tersebut akan juga nantinya terjadi di Australia.
"Sistem kerja akan menjadi lebih terstruktur, lebih cocok untuk para pekerja profesional. Namun ini menjadi tidak cocok untuk para backpacker, para mahasiswa, mereka yang sudah setengah pensiun yang mau bekerja beberapa hari seminggu dan mau mendapatkan bayaran tunai," katanya.
"Tidak akan ada lagi para backpacker yang bekerja selama musim panas untuk menjadi pemetik buah."
Peter Cornish mengatakan bahwa sekitar 10-20 persen dari pekerja di Tasmania tidak akan bekerja lagi karena 'mereka tidak akan memenuhi kriteria untuk bisa bekerja minimum harian, dan petani harus memberikan subsidi untuk pekerja ini dan mereka tidak akan sanggup melakukannya.'
Dalam pengalaman di Inggris, pertanian di sana kemudian harus menggantungkan diri pada pekerja musiman yang berasal dari Eropa Timur.
Laurie Adams mengatakan bahwa pertanian Australia juga nantinya akan memerlukan lebih banyak pekerja dari Program Pekerja Musiman, yang saat ini kebanyakan berasal dari negara-negara Pasifik.
Di pertaniannya, pendapat di kalangan pekerja juga berbeda-beda kata Adams.
Hendra yang berasal dari Indonesia dan pindah ke Tasmania utara dua tahun lalu mengatakan tidak setuju dengah perubahan sistem pembayaran ini.
"Bila ada satu pekerja yang bekerja keras, dan satu lagi bekerja asal-asalan namun mereka mendapat bayaran sama, saya kira itu tidak adil," katanya.
Rio yang berasal dari Timor Leste juga bekerja sebagai pemetik buah di Tasmania.
Dia tiba tiga tahun lalu dan mengatakan senang dengan perubahan upah menjadi gaji minimum karena ini akan membuat lebih banyak orang mau bekerja di sektor pertanian.
"Saya kira pekerjaan pemetik buah ini benar-benar membuat orang termotivasi untuk bekerja cepat namun tidak semua orang bisa melakukannya," katanya.
"Kalau kami terus melakukan kerja dengan baik di sini maka perusahaan akan mendatangkan lebih banyak pekerja dari Timor Leste dan mereka akan bekerja dengan baik juga." Penerapan perlu untuk melindungi pekerja
Peter Cornish berharap penerapan struktur pembayaran ini bisa diterapkan lebih baik dibandingkan sistem sebelumnya.
"Salah satu masalah dengan ini adalah bahwa Fair Work Ombudsman harus memastikan mereka melakukan pengawasan atas perubahan baru ini," katanya.
"Pembayaran upah rendah adalah salah satu masalah yang ada, dan publik, pekerja, dan juga petani sekarang harus diyakinkan bahwa masalahnya sudah tertangani sepanjang penerapannya berjalan baik.
Laurie Adams mengatakan selama ini yang menjadi masalah selalu berkenaan dengan bagaimana penerapan pembayaran itu dilakukan di lapangan, apa pun sistem yang dianut.
"Kita akan beroperasi dengan sistem bayaran baru, kita sudah pernah melakukan yang lama. Tantangan sebenarnya adalah apakah semua pihak akan mematuhi aturan baru tersebut," katanya.
"Masalahnya di masa lalu adalah bukan karena sistemnya tidak ada, namun kepatuhan terhadap sistem yang ada.
"Kalangan bisnis yang tidak mematuhi aturan ini sebelumnya yang harus dipaksa untuk mematuhi aturan baru nantinya."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahaan Daging Terbesar Australia Dilaporkan Gagal Melindungi Karyawannya Dari Peristiwa Membahayakan