Singapura telah mengeksekusi mati pria Malaysia yang memiliki kebutuhan khusus dengan tingkat intelektual di bawah rata-rata karena membawa narkoba. Pengadilan menolak banding yang diajukan keluarga di saat-saat terakhir.

Nagaenthran Dharmalingam yang berusia 34 tahun sudah masuk dalam daftar untuk dieksekusi mati selama lebih dari 10 tahun setelah dia dinyatakan bersalah membawa 43 gram heroin masuk ke Singapura.

BACA JUGA: Tina Rahimi Menjadi Petinju Muslim Perempuan Pertama Yang Mewakili Australia di Pertandingan Internasional

Singapura adalah salah satu negara yang menerapkan hukuman berat bagi pelanggaran hukum terkait narkoba, dengan pemberlakuan hukuman mati.

Keluarga Nagenthran dan pegiat sosial mengatakan eksekusi mati sudah dilakukan hari Rabu.

BACA JUGA: Lokasi Pembunuhan Massal Penduduk Aborigin di Queensland Kembali ke Tangan Pemiliknya

"Untuk ini saya bisa mengatakan Malaysia jauh lebih manusiawi," kata saudara perempuannya Sarmila Dharmalingam,

"Angka nol untuk Singapura untuk soal ini.

BACA JUGA: Perusahaan Daging Terbesar Australia Dilaporkan Gagal Melindungi Karyawannya Dari Peristiwa Membahayakan

Adik laki-laki Nagaenthran, Navin Kumar (22 tahun} mengatakan jenazah kakaknya akan dibawa kembali ke Malaysia di mana pemakaman akan dilakukan di kota Ipoh.

Para pendukung Nagaenthran dan pengacaranya mengatakan dia memiliki tingkat kecerdasan 69 sehingga secara intelektual memiliki disabilitas dan menurut hukum HAM internasional melakukan eksekusi terhadap seseorang yang memiliki masalah mental tidak boleh dilakukan.

"Nagaenthran Dharmalingam akan tercatat dalam sejarah sebagai korban dari ketidakadilan hukum," kata Maya Foa, direktur organisasi LSM bernama Reprieve.

"Melakukan hukuman gantung terhadap seseorang yang difabel, seseorang yang secara mental tidak sehat karena dia dipaksa untuk membawa narkoba, hanya sekitar tiga sendok teh diamorphine tidak bisa dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum internasional yang sudah ditandatangani oleh Singapura."

Nagaenthran dan ibunya sudah mengajukan mosi hari senin mengatakan bahwa tindakan eksekusi merupakan hal yang melanggar konstitusi.

Selain itu, dia juga tidak mendapatkan pengadilan yang adil karena hakim ketua yang menangani perkaranya semasa banding adalah Jaksa Agung ketika dia dinyatakan bersalah di tahun 2010.

Pengadilan memutuskan bahwa mosi itu tidak bisa diterima dengan alasan hanya "mengada-ada."

Di akhir persidangan hari Selasa (26/04), Nagaenthran dan keluarganya lewat sela-sela kaca di ruang pengadilan saling berpegangan tangan erat sambil menangis.

Terdengar suara Nagaenthran mengeluarkan kata "Ma" yang terdengar ke seluruh ruang pengadilan.

Sekitar 300 orang melakukanprosesi penyalaan lilin di sebuah taman di Singapura hari Senin (25/04) malam sebagai aksi protes rencana hukuman mati ini.

Kasus Nagaenthran menarik perhatian internasional dengan sekelompok pakar PBB dan pengusaha terkenal Inggris Richard Branson bergabung dengan Perdana Menteri Malaysia dan pegiat HAM mendesak Singapura untuk menjadikan hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.

Perwakilan Uni Eropa juga menggunakan kasus ini untuk menyerukan dihentikannya pelaksanaan hukuman mati.

Singapura sudah menunda pelaksanaan hukuman mati selama dua tahun karena adanya pandemi COVID-19, sebelum kemudian memulai lagi eksekusi mati terhadap seorang pedagang narkoba bulan Maret lalu.

Mereka yang dinyatakan bersalah membawa lebih dari 15 gram heroin ke Singapura bisa dijatuhi hukuman  mati, meski hakim bisa juga menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.

Usaha untuk mengurangi hukuman Nagaenthran, termasuk meminta pengampunan dari Presiden Singapura, tidak berhasil.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Thariq Halilintar Akan Rayakan Idulfitri di Singapura, Ini Alasannya

Berita Terkait