jpnn.com - JAKARTA - Pidato politik calon presiden (capres) dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto di Gelora Bung Karno, Minggu (23/3) yang berapi-api dan seolah terkesan menyindir Joko Widodo alias Jokowi sebagai ‘pemimpin boneka’ dinilai tak akan bisa menggaet simpati publik. Sebab, pidato Prabowo itu justru ditangkap publik sebagai ungkapan emosi dan kemarahan.
Penilaian itu disampaikan pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Ari Junaedi, Senin (24/3). Menurutnya, kestabilan emosi seseorang bisa dilihat dari caranya berkomunikasi. Sementara di sisi lain, rakyat Indonesia justru membutuhkan pemimpin yang bisa mengayomi dan sabar meladeni berbagai kelompok yang ada di tanah air.
BACA JUGA: Diat Satinah Rp 21 Miliar, Pemerintah Lobi Keluarga Korban
"Pemimpin butuh kestabilan emosi dan hal ini bisa dijadikan patokan pemilih untuk menentukan calon presidennya. Apa jadinya kalau kita punya presiden pemarah?" ulas Ari.
Mantan wartawan televisi swasta yang kini menjadi akademisi di berbagai perguruan tinggi itu menambahkan, pemilih mencari pemimpin dari komunikasi yang solutif. Dalam konteks pidato politik Prabowo di GBK, Ari melihatnya bukan sebagai bentuk komunikasi solutif. “Menurut saya, cara-cara yang ditampilkan Pak Prabowo jauh dari kaidah komunikasi solutif. Lebih banyak marahnya ketimbang komunikasi yang menyejukkan," ulasnya.
BACA JUGA: Abraham Tegaskan Tak Pernah Twitteran
Lebih lanjut Ari merujuk pada hasil survei Pol-Tracking terhadap ratusan guru besar di perguruan tinggi terkait kemampuan para capres dalam memimpin. Dalam survei yang dirilis Pol-Tracking Minggu (23/3) itu, aspek-aspek penilaiannya di antaranya meliputi kemampuan memimpin dan kestabilan emosional. Hasilnya, nama Jusuf Kalla dan Joko Widodo memuncaki survei yang berisi penilaian dari para profesor.
Menurut Ari, hasil survei Pol-Tracking itu sangat penting untuk memperkaya pemahaman pemilih tentang para capres yang akan berlaga di pilpres Juli nanti. "Hasil penilaian para guru besar tersebut menunjukkan aspek emosional para kandidat menjadi salah satu penilaian utama. Bahwa tidak selalu persoalan Indonesia harus dihadapi dengan gaya komunikasi temperamental,” pungkas pengajar program magister di Universitas Diponegoro Semarang itu. (ara/jpnn)
BACA JUGA: Bupati Empat Lawang Bersaksi di Sidang Akil Mochtar
BACA ARTIKEL LAINNYA... Capres Hasil Konvensi Berpeluang Jadi Kuda Hitam
Redaktur : Tim Redaksi