Pemilu Malaysia: Milenial yang Sia-siakan Potensi

Minggu, 06 Mei 2018 – 13:38 WIB
Pemilu Malaysia. Ilustrasi: Bigstock

jpnn.com - Sampai akhir 2017, 40 persen dari total jumlah warga Malaysia yang punya hak suara adalah generasi milenial. Yakni, yang lahir antara 1980–1994.

Sayang, meski punya potensi besar untuk mengubah masa depan negeri, generasi milenial tak punya kepedulian terhadap politik.

BACA JUGA: Pemilu Malaysia: 2,5 Juta Siluman Masuk Daftar Pemilih

’’Saya tidak tahu banyak (soal pemerintahan). Dan, saya tidak terlalu peduli juga. Yang saya perhatikan hanya perekonomian yang kian lama kian menyedihkan. Saya tidak mau berakhir jadi orang miskin,’’ kata Alya Aziz, mahasiswi 22 tahun, yang diwawancarai tim BBC di Malaysia pekan ini. Karena itulah, Alya memutuskan tidak mendaftarkan diri sebagai pemilih.

Saat ini Komisi Pemilu alias Election Commission (EC) alias Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) mencatat sekitar 18,7 juta orang sebagai pemilih yang sah. Sebanyak 40 persen di antaranya berusia 21–39 tahun.

BACA JUGA: Pemilu Malaysia: Mahathir Diragukan Orang Kampung Sendiri

Artinya, jumlah pemilih yang merupakan generasi milenial meningkat 10 persen jika dibandingkan dengan pemilu atau general election (GE) sebelumnya. Yakni, GE13 pada 2013.

Jika Alya memilih tidak ikut GE14 pada 9 Mei nanti, Leonie Leong beda lagi. ’’Sebenarnya, saya ingin ikut. Tapi, saya terlambat mendaftar. Sebab, memberikan suara dalam pemilu tidak pernah menjadi prioritas saya,’’ kata perempuan 27 tahun itu sebagaimana dilansir BBC, Sabtu (5/5). Maka, sama seperti Alya, Leonie pun tidak akan memberikan suara dalam GE14.

BACA JUGA: Pemilu Malaysia: Najib Hajar Mahathir dengan UU Antihoaks

’’Dalam benak saya, jika saya ikut memilih, suara saya hanya akan menjadi bagian dari suara rakyat yang di parlemen bisa jadi tidak ada artinya,’’ lanjut Leonie.

Hasil pemungutan suara 9 Mei memang hanya akan memetakan kekuatan di parlemen. Jika ada partai atau koalisi partai yang meraup suara mayoritas, pemerintahan otomatis jatuh ke tangan si pemenang.

Namun, ada juga kemungkinan lain. Hung parliament misalnya. Jika tidak ada partai atau koalisi partai yang mendapatkan suara mayoritas, bisa jadi lahir pemerintahan koalisi.

Dalam hal ini, jika Pakatan Harapan (koalisi oposisi) atau Barisan Nasional (koalisi pemerintah) tidak berhasil mendapatkan suara mayoritas, si pemenang pemilu harus berkoalisi dengan partai lain.

Jika pemerintahan selanjutnya harus berbentuk koalisi, kuncinya ada di Partai Islam Malaysia (PAS). Dalam GE14, PAS tidak masuk koalisi oposisi maupun pemerintah. Dan, perubahan aturan soal pemetaan konstituensi oleh EC alias SPR malah akan membuat PAS kebanjiran dukungan. Sebab, pemetaan berdasar etnis itu membuat PAS terlihat sebagai pemersatu dalam balutan agama.

’’Islam dulu, baru etnis. Itu semboyan PAS. Itu bisa mendulang suara partai,’’ kata Mohamed Nawab Mohamed Osman, koordinator Malaysia Programme pada S. Rajaratnam School of International Studies, sebagaimana dilansir Channel News Asia kemarin.

Karena itu, menurut dia, PAS pun akan memperoleh kenaikan suara dalam pemilu kali ini. Oposisi dan pemerintah tak boleh mengabaikan fakta tersebut.

Dalam GE14, oposisi menggunakan media sosial sebagai sarana utama kampanye. Mereka memberdayakan Facebook, WhatsApp, dan YouTube untuk menjangkau generasi milenial.

Strategi itu memang jitu untuk menyedot perhatian kaum muda, khususnya generasi milenial. Namun, keriuhan di dunia maya itu tidak diimbangi dengan antusiasme yang sama di dunia nyata.

’’Kaum muda tertarik mengikuti isu politik yang tersaji di media sosial karena marketing-nya sangat bagus. Dan, kaum muda tak bisa menghindari demam pemilu yang sedang ramai di internet,’’ ungkap Voon Zhen Yi, analis riset politik pada Centre for Public Policy Studies.

Sayang, mereka yang antusias ikut berbicara politik di dunia maya bukan selalu mereka yang aktif menggunakan hak suara.

Di kampus-kampus besar Malaysia pun, obrolan tentang pemilu nyaris tak terdengar. Misalnya di University Malaya.

’’Semua obrolan politik sepertinya tabu di sini. Sebagai mahasiswa, kami hanya bisa bisik-bisik soal politik. Kami tidak mau sampai kampus tahu kami membahas pemerintahan,’’ kata Nur Hanifah. Pernyataan itu dibenarkan temannya sesama mahasiswi, Nurul Syazwani. (hep/c19/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahathir: Najib Pengkhianat dan Pencuri


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler