Pemimpin tak Cukup Bermodal IQ Tinggi

Kamis, 05 Juni 2014 – 17:41 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Intelligence Quotient (IQ) memang dibutuhkan jika ingin menjadi pemimpin. Namun dengan hanya bermodal IQ tinggi tidak cukup. Sebab pemimpin harus punya keseimbangan dalam emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ).

Tak hanya itu, saat ini muncul varibel kecerdasan lain, yakni adversity quotient (AQ). Pemimpin harus memiliki AQ tinggi karena akan menuntunnya mampu menghadapi masalah dan kesulitan.

BACA JUGA: Gerindra Anggap Usulan Jokowi Rusak Independensi Polri

"Pemimpin itu perlu keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ, serta AQ. Jadi mengukur kecerdasan tak cukup hanya dari salah satunya saja, karena malah penting ketika untuk calon pemimpin juga dilihat bagaimana kecerdasan menghadapi masalah dan kesulitan," kata Pakar Pendidikan Tukiman Taruna, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (5/6).

Tukiman menjelaskan, jika seseorang hanya memiliki IQ dan kurang dalam AQ, maka pem,impin itu akan kesulitan untuk keluar dari masalah.

BACA JUGA: Akil Mochtar Bantah Punya Affair dengan Sri Wahyuningsih

"Intinya dia tahan banting tidak dalam menghadapi kesulitan. Empat itu harus seimbang. Apa artinya cerdas otak kalau tak cerdas menghadapi kesulitan," jelasnya.

Empat hal itu, kata Tukiman, semua ada tesnya dan hasilnya akan mengklasifikasi orang pada tiga kelompok.  Pertama,  kelompok orang pemogok. Jika masuk dalam kelompok ini, maka kecenderungannya adalah mogok, mutung, atau ngambek.

BACA JUGA: Jadi Tim Capres, Ali Masykur Merasa Tak Salahi UU Pilpres

Kedua, orang yang kalau menghadapi kesulitan, bukannya diselesaikan tetapi mengalihkannya ke persoalan lain. Orang yang seperti itu ibaratnya kelompok berkemah.

Yang artinya dia mencoba untuk mengatasi kesulitan itu, tetapi kalau dirasa semakin sulit dia lalu berhenti di tengah jalan. Kemudian dia mendirikan kemah baru di situ untuk mengalihkan perhatian ke kemahnya.

Ketiga, adalah kelompok orang yang berani mendaki, atau biasa disebut tahan banting.

"Dalam konteks capres ini, silahkan menilai capres siapa yang tahan banting menghadapi masalah dan kesulitan," ungkap  Wakil Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah ini.

Seperti diketahui, beberapa hari terakhir timbul polemik di media massa yang membanding-bandingkan gaya berpolitik Prabowo dan Jokowi.

Pembandingan ini seperti mengarahkan isu gaya berpidato Jokowi kalah dibanding Prabowo, sehingga Jokowi dianggap tak pantas menjadi presiden RI.

Sejumlah ahli juga sudah menjelaskan bahwa gaya berpidato bukanlah pencerminan kualitas calon pemimpin. Sebab, hal terpenting dari penilaian calon pemimpin adalah hasil kerjanya. (abu/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masyarakat tak Butuh Pemimpin Cuma Bisa Berorasi tapi Miskin Kerja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler