Pemodal Ancam Demokrasi Indonesia

Rabu, 28 April 2010 – 18:45 WIB
JAKARTA - Proses demokrasi di Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman serius dari kalangan pengusaha atau pemodal yang semakin menguasai panggung partai politik di tanah airPendapat ini mengemuka dalam diskusi bertajuk "Membangun Demokrasi yang Sehat dalam Memerangi Politik Uang" diselenggarakan Akbar Tandjung Institute dan SAS Communication, dengan narasumber Direktur Reform Institute Yudi Latief, anggota KPU Pusat I Gusti Putu Artha dan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar Agun Gunanjar, Rabu (28/4) di Jakarta.
 
"Proses Penyelenggaraan politik demokrasi mulai pilkada hingga pilpres telah dikuasasi oleh kekuatan jaringan pemodal

BACA JUGA: Lima Pasang Bertarung di Pilgub Sumbar

Sedangkan para politisi hanya menjadi instrumen dari kekuatan mereka," tegas Yudi Latief.
 
Tanpa disadari, kata Yudi, demokrasi di Indonesia sebenarnya telah mati karena esensi demokrasi untuk kepentingan rakyat banyak tidak lagi berjalan dan kepentingan para pemodal itulah yang kini berjaya
Untuk mengatasinya, tambah dia, harus ada perubahan radikal sehingga esensi politik dan demokrasi bisa dikembalikan pada tujuan idealnya.
 
Terkait dengan tingginya biaya demokrasi, anggota Komisi Pemilihan (KPU) I Gusti Putu Artha menyarankan supaya Indonesia harus melakukan perubahan total dalam berdemokrasi karena telah terjadi pergeseran yang membahayakan penyelenggaraan demokrasi.
 
"Mahalnya praktik demokrasi mulai dari pilkada, pileg dan pilpres yang dirasakan sudah tidak adil semakin diperparah diperparah dengan praktik politik uang yang menembus semua lapisan masyarakat, mulai dari elite hingga rakyat biasa

BACA JUGA: Pengusul Hak Menyatakan Pendapat Diminta Tahan Diri

Saya berani mempertanggungjawabkan trend politik tersebut," tegasnya.
 
Merebaknya politik kotor dalam bentuk pragmatisme, kata Putu, terindikasi dari mahalnya biaya demokrasi
"Untuk penyelenggaraan Pilkada di 500 kabupaten dan kota diperlukan anggaran sebesar Rp10 triliun," ujarnya.
 
Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan kandidat yang jumlahnya sama dengan biaya penyelenggaraan

BACA JUGA: AM Dinilai Tidak Paham Hakekat Partai

Jadi jika ada tiga kandidat maka biaya itu mencapai Rp30 triliun, dengan asumsi setiap pasang membutuhkan Rp20 miliarKarena itu, Putu Artha mengusulkan agar pilkada digabung serentak dengan pilpres untuk menghemat biaya triliunan rupiah.
 
Dalam kesempatan sama, politisi Partai Golkar Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan, partai politik saat ini tak ubahnya seperti perusahan karena ditentukan oleh para pemodalnya atau pemilik saham mayoritasMaka tidak megherankan kalau saat ini dalam setiap proses politik marak dengan politik uang.
 
Politik uang bukan semata dalam rumusan undang-undang sebagai suatu delik perbuatan pidana atau pelanggaran, tapi lebih pada pengertian uang yang paling dominan dan menentukan dalam proses politik yang belum tentu itu sebagai tidakan melanggar hukum, katanya.
 
Mantan anggota Pansus Pileg/Pilpres Pemilu 1999 itu menambahkan, kekuatan uang telah mendominasi seluruh proses perjalanan politik suatu partai, bahkan kekuatan uang telah mendominasi proses politik dalam hal rekrutmen hingga terpilihnya yang bersangkutan pada Pileg 2009, begitu pula pada Pilpres 2009"Karenanya tidak mengherankan kalau pada akhirnya jumlah golput makin meningkat," kata Agun.
 
Selain itu, tambah anggota Komisi II DPR itu, akibat politik uang jumlah selebriti dan pengusaha juga semakin dominan, termasuk incumbent karena mereka semua memiliki modal materi, di samping popularitas tertentuSehingga parpol yang seyogyanya sebagai penyalur dan perjuangan aspirasi rakyat menjadi semakin pudar seiring memudarnya idealisme, integritas dan loyalitas terhadap rakyat.
 
Bahkan sejumlah sindiran dan kritikan pedas terhadap keberadaan parpol yang terjadi selama ini, masih juga belum menunjukan hasil optimalBagitu pula dengan DPR sebagai lembaga representatif masih belum menunjukan etika yang baikDemikian halnya dengan substansi tentang konstitusi, hukum tatanegara, hukum administrasi negara ataupun substansi yang lebih tehnis masih banyak didapatkan kekurang pemahaman tentang itu semua, imbuh bekas Ketua Pansus RUU Wantimpres itu.
 
"Akibatnya, demokrasi menjadi tidak sehat, tidak substansial akan tetapi sekedar prosedural yang hanya bisa ditempuh dan dipenuhi oleh para pemilik modal, pengusaha, pejabat atau politisi yang berkolaborasi dengan itu semuaBagaimana dengan para aktivis murni, kaum kritis yang sehariannya bergelut dengan itu semua? Sulit untuk bisa maju secara normal, kecuali mereka mau menjadi oportunis," kata Agun Gunanjar(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gamawan: Hubungan Saya dengan PDIP Baik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler