Pemprov Kedodoran, Selamat Tinggal SMA Gratis...

Selasa, 10 Januari 2017 – 08:15 WIB
Siswi SMU. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Pengalihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke pemprov, resmi dilakukan mulai 1 Januari 2017.

Sayang, di banyak daerah perubahan kewenangan itu juga menandai berakhirnya fasilitas sekolah gratis.

BACA JUGA: Sinyal tak Pakai Lagi Guru Honorer

Berdasar data neraca pendidikan daerah (NPD) Kemendikbud terbitan 2017, banyak pemerintah provinsi sebagai penerima kewenangan pengelolaan SMA/SMK yang baru memiliki anggaran pendidikan yang sangat minim.

Akibatnya, ketika mendapat tanggung jawab mengelola SMA dan SMK, kas pemprov langsung kedodoran.

BACA JUGA: Surat Pakde Karwo Terbit, Sekolah Mulai Gelisah

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menyatakan, kendala tidak siapnya anggaran itu sangat disayangkan.

Sebab, regulasi yang mengatur alih kelola SMA/SMK, yakni UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sudah diterbitkan pada 2014.

BACA JUGA: Kepala Sekolah di Surabaya Mulai Pusing Atur Dana

”Kondisi ini menunjukkan perencanaan pemerintah provinsi yang jelek. Kan ada waktu tiga tahun, masak belum siap juga,” ujar Indra di Jakarta kemarin.

Jika kembali mencermati data NPD Kemendikbud, terlihat sejumlah pemerintah provinsi cukup ”pelit” dalam mengalokasikan uang dari pendapatan asli daerah (PAD) untuk sektor pendidikan.

Contohnya Provinsi Jawa Timur. Alokasi dana pendidikan 2016 dari PAD-nya hanya 1,7 persen. Turun dari alokasi 2015 yang tercatat 2,2 persen.

”Semua tahu PAD Jawa Timur itu tinggi sekali. Tetapi, kenapa untuk anggaran pendidikan kok cuma 1,7 persen?” ucap dia.

Dengan porsi anggaran pendidikan sekecil itu, Kemendikbud menghitung rata-rata setiap siswa di Jawa Timur mendapat uang pendidikan Rp 56.400 per tahun dari PAD.

Indra mengatakan, sebelum alih kelola SMA/SMK berlaku, seharusnya provinsi serta kabupaten dan kota di bawahnya melakukan rembuk anggaran pendidikan.

Alokasi dana pendidikan dari PAD harus dinaikkan. Konsekuensinya, alokasi bidang lain dikurangi. ”Tentu ada yang tidak suka. Tetapi, ini untuk pendidikan,” jelasnya.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad menambahkan, pemerintah pusat sudah menuntaskan urusan birokrasi sebagai efek pengalihan kewenangan.

Contohnya, gaji guru PNS dan bantuan operasional sekolah (BOS) juga sudah disesuaikan. ”Dana BOS triwulan pertama cair minggu kedua atau ketiga,” katanya.

Bagaimana dengan hilangnya fasilitas sekolah gratis di beberapa daerah? Hamid berdalih bahwa pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan SMA dan SMK gratis secara nasional.

Apabila selama ini ada SMA dan SMK yang digratiskan, itu terjadi karena kemampuan pemda masing-masing.

Dia menegaskan, pemkab atau pemkot tidak dilarang untuk ikut membantu pembiayaan SMA maupun SMK. ”Selama urusan di PAUD, SD, dan SMP yang menjadi kewajiban utama sudah tuntas,” terangnya.

Hamid menegaskan, meskipun SMA dan SMK menerima dana BOS Rp 1,4 juta per siswa per tahun, tidak berarti pendidikan harus gratis.

Sebab, alokasi dana BOS itu belum sebanding dengan cost riil di jenjang pendidikan menengah. Dengan begitu, SMA dan SMK masih diperbolehkan untuk memungut biaya kepada siswa.

Namun, karena sekarang SMA dan SMK berada di bawah provinsi, Hamid mengatakan bahwa pungutan SPP harus ditetapkan oleh peraturan gubernur.

Penetapannya harus berdasar satuan biaya setiap siswa per tahun di setiap kabupaten/kota setelah dikurangi dana BOS dan bantuan operasional sekolah daerah (bosda).

Munculnya SPP sebagai imbas pengalihan kewenangan SMA/SMK itu tidak hanya terjadi di Surabaya. Di daerah pinggiran seperti Kabupaten Lumajang, juga bakal muncul pungutan SPP. Contohnya SMAN Yosowilangun.

Guru SMAN Yosowilangun Abdul Muis mengatakan, selama ini tidak ada SPP di sekolahnya. Namun, sekarang keluar draf atau rencana pungutan SPP untuk seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur.

”Di Lumajang bakal ada pungutan SPP sebesar Rp 75 ribu untuk SMA, Rp 100 ribu SMK nonteknik, dan Rp 140 ribu untuk SMK teknik,” tutur dia kemarin.

Guru pendidikan agama Islam itu mengatakan, SPP tersebut tentu bakal memberatkan, khususnya bagi kelompok siswa yang tidak mampu.

Rencana penghentian sekolah gratis untuk SMA dan SMK mendapat respons beragam di daerah. Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf mengatakan, peralihan kewenangan SMA/SMK dari kabupaten/kota kepada provinsi merupakan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Amanat UU itulah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. ”Kami inginnya bisa gratis semua, tapi tidak memungkinkan anggarannya,” tuturnya.

Atas kewenangan baru mengelola SMA/SMK, Pemprov Jatim menerapkan standar sumbangan pendanaan pendidikan (SPP) baru yang berlaku untuk SMA/SMK. Besaran SPP sudah ditentukan. SPP tertinggi berlaku di Kota Surabaya. SPP terendah berlaku di Kabupaten Sampang.

Dengan diterapkannya lagi SPP di tingkat SMA sederajat, Dewan Pendidikan Kota Pasuruan khawatir angka putus sekolah di wilayahnya kembali naik.

”Kami mendesak ada langkah tegas pemkot untuk mengupayakan SPP gratis tingkat SMA,” ujar Ketua Dewan Pendidikan Kota Pasuruan Samsul Islam saat ditemui Radar Bromo (Jawa Pos Group) di kantornya kemarin.

Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, mengambil langkah tegas untuk tetap menggratiskan SMA/SMK di wilayahnya. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu Mistin menegaskan kepada Malang Post (Jawa Pos Group), Pemkot Batu tetap memberikan bantuan kepada tiap-tiap sekolah melalui bosda.

”Setiap siswa SMA di Batu mendapatkan bosda Rp 120 ribu dan SMK Rp 220 ribu,” tutur dia.

Angka itu lebih tinggi bila dibandingkan dengan patokan SPP yang ditetapkan Pemprov Jatim. Yaitu, SPP SMA Rp 110 ribu dan SPP SMK nonteknik Rp 145 ribu.

Mistin memastikan, pengalokasian bosda untuk siswa SMA/SMK itu tidak menyalahi aturan. ”Saya sudah melakukan konsultasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur,” ungkapnya kemarin. Hasilnya, pemerintah daerah diperbolehkan untuk memberikan subsidi atau bantuan operasional.

Berbeda dengan Pemkot Batu, Wali Kota Malang Mochamad Anton menyatakan belum berani menganggarkan bosda untuk SMA/SMK.

”Kami tunggu petunjuk teknisnya dulu. Kalau kami anggarkan, nanti kami yang salah. Bisa ada temuan, sudah diambil alih provinsi kok Pemkot Malang masih anggarkan, kan itu salah,” kata Abah Anton –sapaannya– kepada Malang Post.

Beda lagi dengan Jawa Barat. Pemprov Jabar mengklaim paling siap dalam peralihan status kelola SMA/SMK.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan, kesiapan untuk alih kelola tersebut dipersiapkan sejak 2016.

Salah satunya dilakukan dengan menyusun berbagai sistem penunjang kelancaran kebijakan UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut.

”Di awal itu kami sudah melakukan pendataan dengan menata sejumlah aset sekolah yang ada di 27 kabupaten dan kota,” jelas Aher –sapaannya– ketika ditemui di Gedung Sate kemarin (9/1).

Selain itu, penataan kepegawaian Pemprov Jabar, baik struktural maupun nonstruktural, sudah dilakukan. Dengan begitu, secara teknis tinggal pelaksanaannya.

Aher tidak menampik bahwa alih kelola tersebut cukup berat. Sebab, peralihan itu juga berdampak pada status kepegawaian guru. Terlebih lagi, jumlah guru di Jabar saat ini terbilang besar.

Dia memerinci, setelah didata, ada 27.277 pegawai. Jumlah itu terdiri atas 24.292 guru, 473 pengawas sekolah, dan 2.512 tenaga administrasi sekolah.

Kesiapan menerima pengelolaan SMA/SMK juga diungkapkan Pemprov Sulawesi Utara (Sulut). Kepala Dinas Pendidikan Sulut Gamy Kawatu mengungkapkan, biaya untuk keperluan operasional sekolah dianggarkan dalam BOS.

Namun, lanjut dia, bila ada tambahan kebutuhan yang tidak terdata sebelumnya, dapat dicari jalan keluar atas kesepakatan semua pihak melalui komite sekolah.

”Selama tak memberatkan orang tua maupun para murid, kami membolehkan ada tambahan biaya,” ujarnya. (wan/tim JPG/c11/kim)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekolah Gratis Hilang, Giliran Guru Khawatirkan Gaji


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler