Sekolah Gratis Hilang, Giliran Guru Khawatirkan Gaji

Jumat, 06 Januari 2017 – 10:54 WIB
Guru mengajar di kelas. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com-- Bukan hanya siswa dan orang tua yang gelisah dengan sistem baru pendidikan SMA/SMK di Surabaya, para guru pun demikian.

Terutama guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) di sekolah.

BACA JUGA: Di Kota Ini SMA/SMK Tetap Gratis...Tis...Tis

Mereka khawatir gaji yang mereka terima selama ini tidak lagi sesuai upah minimum kota (UMK) sebesar Rp 3,29 juta.

Hal tersebut disampaikan oleh Basuki. PTT di SMAN 20 itu menyatakan, sampai saat ini, pihaknya masih menunggu instruksi lebih lanjut tentang gaji GTT/PTT setelah peralihan SMA/SMK.

BACA JUGA: Pengamat Nilai Pengelolaan Pendidikan Ngawur

Biasanya, gaji GTT diperoleh dari bopda yang besarannya mencapai Rp 152 ribu.

Namun, standar SPP untuk SMA kini hanya Rp 135 ribu.

BACA JUGA: Pengalihan SMA/SMK ke Provinsi Bagus tapi...

"Otomatis berpengaruh. Mungkin ada kegiatan sekolah yang dipangkas," jelasnya.

Namun, dia berharap gaji GTT/PTT tidak turut berubah. Basuki menyatakan sudah mengabdi selama 28 tahun.

Dia juga memiliki seorang istri dan dua anak yang harus dihidupi.

Anak sulungnya sudah lulus SMK dan kini bekerja, sedangkan si bungsu masih duduk di bangku SMA. Istrinya hanyalah ibu rumah tangga.

Untuk menambah penghasilan, Basuki yang memiliki keahlian bela diri mengajar karate untuk siswa SD.

Penghasilannya dari mengajar karate sekitar separo dari UMK.

"Pendapatannya dari dua sumber itu," tuturnya.

Namun, dia optimistis gaji GTT/PTT tidak akan berkurang meski kewenangan sudah beralih ke provinsi.

Ketua Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) Jawa Timur Eko Mardiono berharap gaji GTT dan PTT di Surabaya bisa tetap sesuai UMK.

Yang lebih penting, hak mereka juga tidak boleh terabaikan. Eko menyebutkan, sekolah memang harus cukup bijak agar gaji bisa tetap sesuai UMK.

"Ini yang memang harus dipikirkan sekolah," katanya.

Di sisi lain, ucap dia, biaya operasional sekolah juga tidak murah. Gaji GTT/PTT bisa saja sudah termasuk di dalam SPP.
Namun, dia menilai standar SPP untuk SMA sebesar Rp 135 ribu dan SMK teknik sebesar Rp 215 ribu itu tidak cukup untuk memenuhi operasional sekaligus gaji GTT/PTT.

"Kalau diperbolehkan memungut, saya rasa akan terpenuhi, tapi ini butuh regulasi," tuturnya.

Sementara itu, Kepala SMAN 15 Khairil Anwar mengaku belum menarik SPP kepada para siswanya.

Dia masih menunggu surat edaran tentang SPP. Lantas, apakah cukup dengan SPP Rp 135 ribu? Pihaknya enggan menyebutkan dengan pasti.

"Kami tunggu edarannya dulu. Edarannya kan belum kita terima," jelasnya.

Menurut dia, sekolah harus menyusun terlebih dahulu rencana kerja dan anggaran sekolah (RKAS) untuk satu tahun.
Selanjutnya, baru bisa diketahui kebutuhannya. Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMAN Surabaya tersebut juga belum bisa berkomentar mengenai kemungkinan besaran SPP yang sama atau tidak antarsekolah negeri.

Pun demikian gaji GTT. "Gaji kemungkinan diambil dari SPP, tapi kami lihat dulu surat edarannya," ujarnya.

Saat ditemui di peresmian SMPN 55 kemarin, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan tidak bisa lagi membiayai SMA/SMK.

Pihaknya tidak ingin terkena masalah hukum jika dipaksakan membiayai SMA/SMK. "Sudah jelas tidak bisa (membantu siswa)," ucapnya.

Kebutuhan SMA/SMK kini menjadi tanggung jawab provinsi.

Pihaknya juga tidak bisa melepaskan uang yang sangat besar untuk membantu SMA/SMK.

Berdasar kajian dari pemerintah pusat, kepolisian, hingga kejaksaan, Pemkot Surabaya tidak bisa campur tangan kembali dalam mengelola SMA dan SMK.

"Mosok sampean tego aku dipenjara," ungkapnya. Urusan anak sekolah juga menjadi wewenang dinas pendidikan.

"Dinas sosial menangani setelah sekolah. Untuk itu, harus ada perda," ujarnya.

Sementara itu, Anggota Dewan Pendidikan Surabaya Didik Yudhi Ranu Prasetyo menuturkan, terkait dengan SPP, awalnya, sekolah mengalkulasi kebutuhan anggaran sehingga muncul angka yang bervariasi.

Bahkan, sempat muncul angka yang fantastis untuk SMA, yakni mencapai Rp 1 juta.

Jika saat ini standar SPP hanya Rp 135 ribu, sekolah pun pusing. Sebab, angka itu sebenarnya jauh dari harapan sekolah.
Meski begitu, di sisi lain, adanya standar tersebut juga diuntungkan. Dengan demikian, tiap sekolah bisa standar dan tidak dibeda-bedakan.

Sebenarnya, pihak sekolah berharap bisa dilibatkan dalam penghitungan standar besaran SPP. Salah satu ukuran, misalnya, melalui penghitungan dana bopda.

Termasuk menghitung rata-rata sekolah dari biaya paling mahal sampai sekolah yang paling murah.

"Kalau di bawah bopda, saya yakin sekolah-sekolah jadi tidak nyaman," tuturnya.

Jika komite sekolah dilibatkan dalam pendanaan, harus ditegaskan biaya yang dibebankan kepada wali murid. Kebutuhan listrik dan air, misalnya. Sekolah harus mencukupinya sendiri.

"Kalau dibebankan wali murid, tidak benar. Itu sarana prasarana yang dibiayai negara, termasuk gedung," katanya.

Jika pemerintah tidak mampu, kewajiban negara tersebut bisa dipertanyakan. Sebab, bisa dianggap menyalahi Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Yang pasti, pendanaan oleh komite sekolah juga harus melalui ketentuan.

Jangan sampai malah menyalahi aturan sehingga bisa dianggap sebagai pungutan

Pun demikian GTT/PTT yang dibebankan pada SPP. "Ya berat. Ini seperti orang tua yang bisa membayar guru. Artinya, orang tua bisa buat sekolah sendiri saja, peran negara di mana, ini dipertanyakan," jelasnya. (puj/c20/git/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggota DPR tak Kaget Siswa SMA/SMK Harus Bayar SPP


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler