jpnn.com, JAKARTA - Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin, mengkritik kode etik yang telah dirumuskan oleh Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) karena dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Menurut Razikin, Kode Etik yang diperuntukan bagi semua pegawai dan Pimpinan KPK, itu menghilangkan poin religiousitas uang dituding sebagai bentuk pembangkangan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
BACA JUGA: KPK Segel Belasan Kendaraan Mewah Milik Nurhadi
"Kami berharap Dewas KPK jangan berbuat yang aneh-aneh yang dapat berpotensi menghilangkan trust public terhadap KPK itu sendiri," ucap Razikin dikutip dalalm keterangan tertulisnya, Senin (9/3).
Menurut Razikin religiositas itu adalah semangat sekaligus benteng pertahanan mental masing-masing individu dari rasa takut, ancaman yang membuat orang lega bekerja. Pada saat yang sama menjadi panduan moralitas untuk bekerja secara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BACA JUGA: MPR RI dan KPK Sepakat Bekerja Sama Dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI
"Karena religiusitas harus didengungkan secara terus menerus, bukan dihilangkan," tegas Razikin.
Peghilangan poin religiositas itu menurutnya, membuat publik mencurigai dan mengaitkannya dengan isu sebelumnya bahwa di KPK ada kelompok Taliban dan radikal. Hal ini ditegaskan Razikin, sangat tidak kondusif bagi Lembaga antirasuah itu karena religiositas itu bukan mengarah agama tertentu atau identik dengan salah satu agama.
BACA JUGA: Penyidik KPK Limpahkan Berkas Kasus Saeful Bahri ke Penuntutan
Pihaknya mempersilakan saja bila Dewas KPK ingin menambahkan poin sinergi dalam Kode Etik yang baru tersebut. Namun, hal itu tiak boleh menghilangkan nilai dasar religiositas.
"Intinya Dewan Pengawas membuat aturan yang melanggar Pancasila dan UUD 1945. Semua pimpinan dan pegawai disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Lalu apa salahnya nilai keagamaan itu menjiwai seluruh aktivitas mereka," tandas Razikin yang juga aktivis anti korupsi ini. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam