jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Satya Arinanto menyampaikan pendapat terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja atau Perpu Ciptaker.
Prof Satya Arinanto menilai Perpu Ciptaker merupakan sesuatu yang konstitusional.
BACA JUGA: Gelar Silaturahmi, Menaker Berharap Pemangku Kepentingan Ketenagakerjaan Kawal Perpu Ciptaker
Pendapat itu disampaikannya berdasarkan berbagai teori hukum tata negara (HTN) darurat dan hukum positif yang mengatur mengenai kedaruratan di Indonesia.
"Dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2022 adalah konstitusional," kata saat diskusi "Menakar Konstitusionalitas Perpu Cipta Kerja" di Jakarta, Sabtu (7/1).
BACA JUGA: Arief Poyuono Anggap Perpu Ciptaker Sudah Konstitusional
Dengan demikian, kata Prof Satya, tidak ada kudeta konstitusional dalam pemberlakuan Perpu Cipta Kerja oleh rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Ciptaker) pada 30 Desember 2022 lalu.
BACA JUGA: Jokowi Terbitkan Perpu Ciptaker, ART: Otoritarianisme Makin Nyata
Satya mengatakan penerbitan Perpu tersebut melahirkan beberapa pro dan kontra dan juga hoaks yang beredar secara viral melalui berbagai grup WhatsApp, lalu ramai di media massa.
Dia menyebut dari pantauan awal terlihat bahwa salah satu akar dari timbulnya pro dan kontra itu adalah karena belum semua pihak membaca naskah Perpu tersebut secara lengkap.
"Kalaupun sudah membaca baik secara lengkap maupun sepintas, salah satu fokus yang langsung disoroti adalah mengenai aspek 'kegentingan yang memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945," ucap Prof Satya.
Namun, dia menyebut Perpu Ciptaker konstitusional merujuk Undang-Undang 1945, teori HTN darurat, dan Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009.
Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang masih asli, dalam arti tidak ikut mengalami perubahan dalam proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi (1999-2002).
Prof Satya menjelaskan pada Pasal 22 UUD 1945 tersebut dinyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Namun, peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Kemudian, jika Perpu Ciptaker tidak mendapat persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dia juga menjelaskan parameter kegentingan memaksa yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan perpu menurut Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009, yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Prof Satya mengatakan UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
"Terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," tuturnya.(antara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peringatkan Kader Gerindra yang Tak Loyal, Prabowo: Silakan Cari Partai Lain
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam