jpnn.com - Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung tidak hanya memunculkan Gus Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum, tetapi juga melahirkan para 'pendekar muktamar'.
Mereka adalah orang-orang yang bekerja menggalang dukungan, sehingga Gus Yahya sukses mengalahkan petahana KH Said Aqil Siradj.
BACA JUGA: Berkah dari NU Gelar Muktamar, Yakini Rezeki Tak Akan Tertukar
Dalam pidato pertamanya sebagai ketua umum, Gus Yahya berterima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung maupun yang tidak mendukungnya.
Gus Yahya secara khusus kemudian berterima kasih kepada para pendekar muktamar, dengan menyebut nama Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, dan Nusron Wahid alias Gus Nusron.
BACA JUGA: Sultan DPD: Kita Berikan Penghormatan Terhadap Muktamar ke-34 NU
Dalam pertandingan sepak bola biasanya ada penghargaan ‘’man of the match’’ kepada pemain yang dianggap paling menonjol permainannya dan memberi kontribusi penting dalam kemenangan tim.
Dalam muktamar NU kali ini rupanya ada juga ‘’man of the match’’. Kali ini Gus Ipul yang layak menerima predikat itu.
BACA JUGA: Gus Yahya Harus Bisa Membawa NU menjadi Nakhoda Ormas Islam Dunia
Duet maut Gus Ipul dan Gus Yahya berhasil mengggalang dukungan suara NU dari seluruh Indonesia. Hasilnya, Gus Yahya bisa mengumpulkan suara 337 mengungguli Kiai Said, petahana dua periode, yang mengumpulkan 220 suara.
Pendekar adalah sebutan untuk orang yang pandai bersilat. Di Jawa Barat para pendekar disebut sebagai jawara. Ada juga yang menyebut pendekar sebagai jagoan. Ada makna konotatif maupun denotatif di balik julukan itu.
Pendekar lebih punya konotasi positif sebagai pembela orang lemah, sedangkan jagoan berkonotasi negatif sebagai tukang berantem yang suka binin onar.
Gus Ipul dan Gus Nusron layak mendapat gelar pendekar muktamar. Setidaknya gelar itu sudah disematkan langsung oleh ketua umum terpilih. Sah sudah Gus Ipul dan seGus Nusron menyandang gelar itu.
Menurut Gus Yahya, salah satu bukti kesaktian pendekar adalah meski sesakit apa pun ketika waktunya muktamar mereka pasti sembuh.
Gus Ipul adalah salah satu ketua PBNU di bawah Kiai Said. Gus Ipul dikenal sebagai pendukung utama Kiai Said dalam dua kali muktamar, yaitu muktamar di Makassar 2010 dan muktamar di Jombang 2015. Pada dua muktamar itu Kiai Said menang.
Gus Nusron sekarang menjabat wakil syuriah NU DKI Jakarta. Dia juga pengurus di DPP Golkar, dan pernah menjadi ketua GP Ansor hasil kongres Surabaya 2011. Meskipun nama belakangnya adalah Wahid, tetapi dia tidak punya hubungan nasab dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Beda dengan Gus Ipul yang merupakan keponakan langsung Gus Dur.
Nusron banyak mendapat sorotan media terutama ketika pada pilgub DKI 2016 dia mendukung Ahok. Ketika Ahok diserang hebat karena dianggap melecehkan Al-Qur'an, Nusron dengan gagah berani pasang badan membela Ahok.
Ketika itu lawan-lawan politiknya melempar isu bahwa nama asli Nusron ada adalah Nusron Purnomo bukan Nusron Wahid. Nama Wahid ditempelkan untuk menumpang beken supaya dianggap punya hubungan dengan Gus Dur.
Namun, Nusron berhasil membuktikan bahwa nama aslinya sesuai ijazah adalah Nusron Wahid.
Layaknya pendekar, Nusron membela Ahok dengan gagah berani. Setiap kali muncul di televisi nasional gaya bicara Nusron selalu berapi-api. Matanya yang melotot menjadi ciri khas yang banyak dikenali publik.
Nusron adalah junior Gus Ipul di GP Ansor. Gus Ipul terlebih dahulu menjadi ketua dua periode pada 2000 sampai 2010. Nusron menjadi ketua menggantikan Gus Ipul dalam kongres di Surabaya.
Ketika itu kongres GP Ansor menjadi perhatian publik karena ribut antarpeserta kongres.
Pada kongres itu Nusron, yang menjadi kader Golkar, bersaing dengan dengan Khatibul Umam Wiranu yang menjadi kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Persaingan keras itu memunculkan humor khas ala NU. Disebutkan bahwa Nusron lebih layak menjadi ketua Ansor karena NU-nya Nusron ada di depan, sementara Khatibul Umam Wiranu NU-nya ada di belakang.
Nama Nusron diawali dengan ‘’NU’’ dan nama Khatibul Umam Wiranu diakhiri dengan ‘’NU’’.
Bibit-bibit kependekaran Nusron sudah terlihat ketika itu. Hubungan dengan Gus Ipul sebagai senior juga terus digalang. Jaringan Ansor di seluruh Indonesia inilah yang menjadi kekuatan utama dan sumber suara dukungan terhadap Gus Yahya Staquf.
Para mantan ketua Ansor di seluruh Indonesia itu sekarang banyak yang menjadi ketua NU di level kabupaten dan kota. Jaringan inilah yang dimanfaatkan Gus Ipul dan Nusron untuk menggalang dukungan kepada Gus Yahya.
Kependekaran Gus Ipul sudah terpupuk lama sejak ia menjadi khadim Gus Dur, dan mencecap langsung ilmu dari pamannya itu. Gus Ipul jago lobi dan pintar membangun jaringan. Ia juga piawai menyusup ke sarang lawan.
Ia menjadi ‘’wakil Gus Dur’’ di PDIP dan menjadi anggota DPR RI sekaligus menjadi liaison officer yang menghubungkan Gus Dur dengan almarhum Taufiq Kiemas dan Megawati Soekarnoputri.
Karena kemampuannya ini, Gus Ipul diperbandingkan dengan sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, yang bisa menyusup ke sarang lawan di Makkah untuk menjumpai Nabi Muhammad saw.
Pada muktamar NU di Medan Gus Ipul mengusung Kiai Said menghadapi petahana K.H Hasyim Muzadi. Hubungan Gus Ipul dengan Kiai Hasyim penuh dinamika dan saling kritik.
Puncaknya terjadi ketika Hasyim Muzadi mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri yang diusung PDIP pada pilpres 2004.
Meskipun Gus Ipul punya hubungan historis yang kuat dengan Megawati dan PDIP, tetapi Gus Ipul tidak mendukung Mega-Hasyim. Gus Ipul, yang ketika itu menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Timur, mendesak Hasyim Muzadi mundur dari PBNU, karena Hasyim dianggap telah membawa NU ke ranah politik praktis.
Puncaknya terjadi pada muktamar NU di Makassar pada 2010. Muktamar berlangsung panas dan sempat beberapa kali ricuh. Kubu Gus Ipul yang mengusung Said Aqil Siradj akhirnya muncul sebagai pemenang mengalahkan kubu Hasyim Muzadi.
Hal yang sama terjadi lagi pada muktamar NU di Jombang 2015. Gus Ipul kembali mengusung Said Aqil Siradj sebagai petahana. Kali ini Gus Ipul harus berhadapan dengan KH Sholahuddin Wahid alias Gus Sholah, yang tidak lain adalah paman Gus Ipul sendiri.
Gus Sholah adalah adik kandung Gus Dur. Namun, hubungan Gus Ipul dengan Gus Sholah sangat berbeda dengan hubungannya dengan Gus Dur. Dengan Gus Sholah hubungan Gus Ipul lebih dingin, dan kemudian berubah menjadi panas pada muktamar di Jombang.
Muktamar pun berlangsung gaduh. Sebuah headlines surat kabar nasional menyebut ‘’NU Gaduh, Muhammadiyah Teduh’’. Kebetulan ketika itu Muhammadiyah juga tengah bermuktamar di Makassar dengan suasana yang teduh, sementara NU bermuktamar di Jombang dengan gaduh.
Muktamar Jombang disebut-sebut sebagai muktamar terpanas dalam sejarah NU. Ada isu manipulasi data peserta, bahkan muncul isu penculikan peserta muktamar oleh kubu tertentu. Selain itu ada juga isu mengenai intervensi parpol terhadap muktamar.
KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, ketika itu sampai menangis ketika memimpin sidang di depan ribuan muktamirin di alun-alun Jombang. Gus Mus mengatakan akan mencium kaki para muktamirin asalkan bersedia mengakhiri kegaduhan.
Akhirnya kubu Said Aqil Siradj yang menang. Kubu Gus Sholah kecewa oleh mekanisme pemilihan yang dianggap banyak kecurangan. Seusai muktamar kubu Gus Sholah menggugat ke pengadilan.
Dua kali muktamar itu makin meneguhkan kependekaran Gus Ipul. Muktamar di Lampung pun menjadi konfirmasi kependekaran Gus Ipul. Ia menang hattrick tiga kali berturut-turut, dan Gus Yahya tanpa ragu menasbihkan Gus Ipul sebagai ‘’Pendekar Muktamar’’.
Sebagaimana dalam dua muktamar sebelumnya, ada muktamirin yang kecewa. Kali ini pun ada yang kecewa. Salah satunya adalah KH Azaim Ibrahimy, pengasuh pesantren Salafiyah Asembagus, Situbondo. Kiai Azaim yang merupakan cucu KH As’ad Syamsul Arifin, mengikuti jejak kakeknya menyatakan mufaroqoh, melepas diri, dari kepemimpinan PBNU.
Kiai Azaim kecewa oleh dinamika muktamar, terutama karena beredarnya isu ‘risywah’ alias money politics. Kiai Azaim menegaskan mufaroqoh dan akan ber-NU tanpa PBNU. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror