Penderita Hemofilia Mengharapkan Akses Obat Diperluas

Rabu, 13 April 2022 – 01:56 WIB
Ilustrasi rumah sakit. Foto: AFP

jpnn.com, JAKARTA - Di tengah situasi pandemi ini, ada sebagian orang yang merasa sangat menderita akibat penyakit hemofilia. Tubuh tergeletak, sulit bergerak hingga darah sering mengucur mendadak dari tubuh. Tak terbayangkan, seperti apa rasa sakit yang dialami para penderita ini.

Penderita hemofilia sebenarnya sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Namun, tanggungan tersebut belum bisa mencukupi kebutuhan mereka.

BACA JUGA: Bocah Penderita Hemofilia Itu Masih Alami Pendarahan

Kondisi mereka yang dapat mengalami pendarahan kapan saja sebenarnya mengharuskan adanya persediaan obat yang siap diakses kapan saja. Sayang, kebijakan yang berlaku tidak mengizinkan untuk menyetok obat.

Permasalahan-permasalahan tersebut diungkapkan anggota keluarga dua pengidap hemofilia akut. Sebut saja Mas Pur (31) dan Aryo (13).

BACA JUGA: Waspada, Ini Bahaya Hemofilia pada Ibu Hamil

Rani (41) adalah kakak yang bertanggung jawab atas kondisi Mas Pur. Sang adik baru diketahui menderita hemofilia saat usianya sekitar 5 tahun pada 1995. Di era itu, penyakit hemofilia belum ada obatnya.

"Jadi pengobatannya cuma dikasih yang ada pada saat itu. Secara otomatis, pendarahannya sulit berhenti karena penyakit hemofilia itu sakitnya pendarahan, tetapi tidak bisa berhenti atau sulit diberhentikan," papar Rani, belum lama ini.

BACA JUGA: HMHI Galakkan Pengobatan Hemofilia

Pendarahan itu pun bisa terjadi setiap waktu, terkadang berupa pendarahan kecil, kadang pendarahan besar, dan yang terjadi di dalam tubuh.

Setiap kali darahnya keluar, Mas Pur merintih kesakitan. Bayangkan saja, rasanya darah mengucur dari dalam tubuh melalui kulit itu sakit sekali.

"Kita saja kalau lecet sedikit itu rasanya sakit. Kondisi adik saya ini kelihatan dari mukanya, ia sangat menahan rasa nyeri," katanya.

Kondisi ini terus berlangsung hingga Mas Pur beranjak dewasa. Seluruh anggota tubuh Mas Pur tak boleh terbentur.

Bahkan, aktivitas sehari-hari yang menahan beban sampai terasa pegal juga dilarang keras. Dari pengalaman yang sudah-sudah, Mas Pur bisa mengalami bengkak yang sangat parah.

"Lalu pendarahan lagi. Otomatis kalau pendarahan itu tidak dihentikan maka akan terus makin membengkak," tuturnya.

Mungkin, jika di zaman itu obat hemofilia sudah ada di Indonesia, kondisi Mas Pur tak separah sekarang. Sekarang, Mas Pur mengalami kelumpuhan. Sehari-hari, ia hanya tergeletak di kasur dan sedikit bisa berjalan tetapi tidak boleh sampai pegal.

Yang makin membuat miris, kini Mas Pur hanya tinggal bersama Ayah yang sudah lanjut usia serta ibunya yang mengalami stroke akibat kelelahan mengurus Mas Pur.

Sepenggal kisah masa lalu, sang ibu mengalami stroke saat mengurus Mas Pur di rumah sakit. Mas Pur memiliki bengkak yang amat besar di paha yang menyebabkan pendarahan hebat dan tidak kunjung berhenti.

Karena kondisi tersebut, sang ibu mengalami kelelahan sekaligus syok berat yang membuatnya mengalami stroke.

Mereka merupakan keluarga yang berasal dari kalangan kurang mampu. Jika ingin pergi berobat, sang ayah yang sudah sepuh ini harus menyewa mobil menuju rumah sakit yang jaraknya puluhan kilometer.

Setiap pekan, ayahnya harus membawa Mas Pur ke rumah sakit yang jauh untuk meminta obat dan mengecek kondisi kesehatannya. Beruntung, saat ini sudah ada fasilitas ambulans desa yang sesekali bisa digunakan.

Sementara itu, Rani yang dulu bisa rutin merawat Mas Pur kini tak bisa mengurus dan menemaninya sepanjang hari. Ia harus bertanggung jawab kepada suami dan anaknya di lokasi yang jauh dari tempat Mas Pur.

Namun, Rani selalu stand-by jika suatu waktu dibutuhkan tenaganya untuk membantu ayah dan sang adik.

Kondisi Mas Pur sedikit terobati karena di tahun 2015 obat hemofilia sudah ditemukan dan masuk ke Indonesia. Obat tersebut adalah Faktor VIII.

Meski tidak menyembuhkan secara total, setidaknya Faktor VIII bisa mengatasi ketika terjadi pendarahan.

Obat tersebut harganya sangat mahal, yakni sekitar Rp 12,5 juta untuk ukuran tertentu. Obat itu sebenarnya ditanggung BPJS, tapi ketersediaannya sangat terbatas.

Faktor VIII tidak bisa distok pasien sehingga jika kambuh maka dalam kondisi serba kesulitan dan menahan sakit harus menuju rumah sakit demi mendapatkan obat.

Rani bersyukur bisa dapat obat gratis dari BPJS. Di satu sisi, ia berharap agar obatnya bisa distok di rumah untuk memenuhi kebutuhan Mas Pur, mengingat kondisi ayahnya yang sudah sulit untuk mengantarkan Mas Pur secara rutin, tiap kali terjadi pendarahan.

Sayangnya, pasien sampai saat ini tidak diizinkan untuk bisa stok obat hemofilia di rumah. Selain itu, Rani juga merasa kesulitan untuk mengandalkan BPJS ketika kondisi darurat yang membuat adiknya kehilangan banyak darah.

“Waktu itu, rumah sakit tidak bisa memberikan Faktor VIII lagi. Akhirnya saya dibantu oleh donatur dan organisasi di luar rumah sakit dan BPJS,” ujarnya.

Rani sangat berharap, penyakit hemofilia bisa dikhususkan dari aturan BPJS. Persoalannya, jika terjadi pendarahan, pasien harus dibawa ke rumah sakit yang jauh.

Kalau menggunakan BPJS, obat hanya diberikan saat diopname. Padahal, pendarahan tidak pernah diketahui kapan akan datangnya, sehingga pilihannya hanya dua: jika pendarahan hebat, pasien harus segera dilarikan ke IGD dengan dosis obat yang juga terbatas; dan jika terjadi pembengkakan ringan, pasien sebisa mungkin dirawat seadanya di rumah tanpa obat, sambil menanggung rasa sakit dan menunggu jadwal mingguan suntik di rumah sakit.

Ia juga berharap, BPJS menyediakan obat lain yang lebih maju dan tidak memerlukan penyuntikan berkali-kali agar pasien tidak harus bolak-balik berobat ke rumah sakit untuk mengobati pendarahannya.

Selain Mas Pur ada Aryo, (13). Ibu dari Aryo bernama Anisah (41). Aryo lebih beruntung dari Mas Pur karena ia lahir saat hemofilia sudah diakomodasi obatnya.

Anisah mengaku kini harus melepaskan pekerjaannya untuk secara penuh bisa merawat sang anak dan menjalani kewajiban sebagai istri di rumah.

Kondisi Aryo sering kali membuat ia bersedih. Bahkan dalam wawancara, Anisah menceritakan kondisi anaknya sambil menangis. Ia terbata-bata bercerita karena tak kuat membayangkan rasa sakit yang dialami buah hatinya.

"Waktu saya masih kerja, kalau lihat kondisi anak saya kambuh hemofilia maka saya pulang kerja harus berangkat dan antre di IGD. Tidak tega saya melihat anak waktu itu masih kecil susah disuntik lewat intravena. Bisa 8 sampai 10 kali tusukan tangan kiri, tangan kanan, kaki bahkan hampir mau di kepala," kisahnya.

Bahkan setelah mendapat Faktor VIII, kadang Aryo tak langsung sembuh, sehingga ia harus kembali lagi ke rumah sakit 1 x 24 jam, antre berkali-kali, dan disuntik obatnya kembali. Hal itu dilakukan berulang sampai pendarahannya benar-benar mereda.

Suami Anisah tidak lepas tangan begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, Anisah mengaku sangat membutuhkan support dari pasangan, keluarga, mertua, dan orang-orang di sekitarnya.

"Alhamdulillah, keluarga kami sangat mendukung. Walaupun dikatakan hemofilia ini adalah kelainan yang diturunkan oleh pihak Ibu, tapi dari pihak keluarga tidak ada yang punya keluhan hemofilia," akunya.

Dalam kesehariannya, hemofilia membuat ia dan suaminya tidak tenang. Bagi Anisah, harapannya sederhana, ia ingin anaknya bisa bangun di pagi hari tanpa bengkak dan rasa sakit.

“Abang aman?” Setidaknya itulah hal yang selalu ditanyakan Anisah menjelang pagi. Setelah pertanyaan tersebut, biasanya Aryo langsung tunjukkan tangannya yang bengkok dengan wajah pucat tanpa berkata-kata.

Sambil menangis, Anisah mengatakan bahwa kondisi tersebut sudah menunjukkan bahwa Aryo sedang sakit.

"Kalau saya bangunkan subuh dan aman, dia bisa sekolah. Itu saya rasanya bahagia banget. Bahagia seperti dunia itu milik saya. Saya tidak muluk-muluk, cuma mau melihat dia bangun sehat saja saya sudah senang sekali," ungkap Anisah sesenggukan.

Bagi Anisah, Aryo memerlukan obat profilaksis baru selain FVIII sesuai rekomendasi dari dokter yang menangani. Ia bercerita sempat menggunakan obat tersebut dari asuransi kantor suaminya, tetapi sudah tidak dapat ditanggung lagi.

Proses penyuntikan obat tersebut dirasa lebih nyaman bagi Aryo karena bisa disuntikkan di mana saja dan tidak perlu melalui cara infus di rumah sakit. Misalnya, disuntik di perut dan di lengan maka sudah observasi 1 jam setelah itu pulang bisa beraktivitas.

Obat tersebut mampu memberikan hasil yang lebih ampuh, hingga membuat Aryo bisa berolahraga, seperti main bulu tangkis dan berenang. Kemudian saat aryo tidak sengaja terjatuh, darah yang mengucur pada luka dapat berhenti seperti anak normal lainnya.

Dia berdoa berharap agar semua anak-anak hemofilia diberikan jalan kesembuhan. Pemerintah dan BPJS tergerak hatinya dalam memudahkan proses penggunaan obat-obatan terapi hemofilia yang baru.

"Saya mohon agar obat baru ini bisa ditanggung oleh BPJS, agar bisa digunakan oleh semua anak-anak hemofilia seluruh Indonesia. Melalui obat itu, itu anak saya sempat merasakan kesehatan yang optimal dalam beraktivitas," harapnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler