Penderita Kanker Kini Bisa Bernapas Lega, BRIN Ciptakan Inovasi Samarium

Kamis, 24 Februari 2022 – 11:45 WIB
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menciptakan inovasi produk Samarium (Sm) 153 EDTMP untuk meringankan nyeri para penderita kanker. Foto: tangkapan layar laman BRIN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah harus serius menangani tingginya kasus kanker di Indonesia.

Sebagaimana dilansir dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kasus kanker di Indonesia pada 2020 mencapai 396.914 kasus dan kematian 234.511 kasus.

BACA JUGA: BRIN: Vaksin Merah Putih Siap-Siap Masuk Uji Klinik

Dalam beraktivitas, para penderita kanker kerap merasakan nyeri yang luar biasa ketika metastasis sudah sampai tulang.

Sebagaimana diketahui, metastasis merupakan penyebaran sel kanker dari satu organ tubuh ke jaringan tubuh lain.

BACA JUGA: Hari Kanker Sedunia, MPR Minta Penderita dan Penyintas Diberi Perawatan dan Edukasi

Penderita kanker bisa merasakan nyeri ini di sekitar tempat kanker maupun jauh dari awal munculnya penyakit tersebut.

Namun, para penyintas kanker kini bisa bernafas lega.

BACA JUGA: Ternyata Ini Alasan Penderita Kanker Tidak Berani Lakukan Deteksi Dini

Sebab, rasa nyeri yang selama ini dirasakan berkurang dengan pemberian Samarium (Sm) 153 EDTMP.

Seperti dilansir dari laman BRIN, Samarium merupakan radiofarmaka hasil inovasi di bidang kedokteran nuklir yang diproduksi BRIN melalui Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN).

Plt Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PRTRR) Rohadi Awaludin menyatakan, Sm 153 ETDMP merupakan produk penelitian yang sangat bermanfaat sebagai obat terapi penghilang rasa sakit bagi penderita kanker.

“Untuk mengurangi rasa sakit itu secara konvensional, mereka biasanya menggunakan obat-obatan analgesik atau penghilang rasa sakit seperti morfin,'' ujar Rohadi.

Namun, hal itu tidak bertahan lama. Samarium 153 EDTMP bisa bertahan 1-2 bulan.

Rohadi menjelaskan, kelebihan lain produk ini adalah tidak menimbulkan efek ketagihan dan menurunnya kualitas hidup seperti bila menggunakan morfin.

Dengan demikian, penderita kanker dapat beraktivitas dengan normal.

Dengan pemberian Sm 153 EDTMP, para penderita tidak merasakan sakit dan bisa beraktivitas tanpa mengurangi kualitas hidup.

BRIN terus mengembangkan dan meningkatkan penguasaan teknologi nuklir untuk memproduksi radiofarmaka.

Produk ini telah dipasarkan kepada beberapa rumah sakit agar masyarakat bisa merasakan manfaatnya.

Rohadi menjelaskan, PRTRR juga menghasilkan kit radiofarmaka MIBI untuk mendeteksi fungsi jantung.

Kit radiofarmaka MDP difungsikan untuk mengetahui adanya kanker tulang primer maupun metastase tulang.

''Kit radiofarmaka DTPA untuk mengetahui fungsi ginjal dan MIBG bertanda I-131 untuk terapi kanker neuroblastoma,” ujar Rohadi.

Menurut dia, ada beberapa kendala dalam memproduksi radiofarmaka tersebut.

Yakni, produk ini mempunyai sifat radioaktif yang memiliki waktu paruh yang pendek.

Akibatnya, produk ini harus segera digunakan setelah dibuat dan tidak disimpan dalam waktu yang lama.

“Karena itu, diperlukan perencanaan produksi yang sangat cermat dengan memperhatikan sarana pengangkutan yang cepat untuk daerah luar Jakarta. Saat ini, radiofarmaka diproduksi di Jakarta,” jelasnya.

Rohadi berharap fasilitas kedokteran nuklir di Indonesia diperbanyak agar manfaatnya bisa dirasakan masyarakat secara luas.

Saat ini, baru ada 14 fasilitas kedokteran nuklir.

“Kami berharap Kemenkes memberikan perhatian yang lebih terhadap kondisi fasilitas kedokteran nuklir, khususnya dalam pengembangan SDM dan pemenuhan peralatan. Ada gagasan bahwa beberapa rumah sakit akan dijadikan pusat penanganan kanker,” tandasnya. (jpnn)


Redaktur & Reporter : Tarmizi Hamdi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler