Pendukung Tak Perlu Hadir di Debat Pilpres, Toh Sudah Pasti Pilih Jagonya

Kamis, 21 Februari 2019 – 14:20 WIB
Emrus Sihombing. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Emrus Sihombing meminta tiga jilid debat Pilpres 2019 yang tersisa harus dioptimalkan dan berorientasi kepada kepentingan pemilik suara, bukan untuk pasangan calon, partai pengusung dan para pendukung.

Emrus menilai setidaknya lima hal yang bisa diimplementasikan pada tiga debat tersisa. Pertama, peserta yang hadir seharusnya representasi pemilik hak suara, yaitu rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Dear KPU..Ini Ada Saran dari Sandi untuk Debat Pilpres Ketiga

Dia berpendapat, ada empat kelompok pemilik hak suara yang seharusnya hadir pada acara debat. Mereka ialah kaum milenial, pemilih pemula, kelas sosial yang belum beruntung terutama dari desa-desa terpencil, dan kelompok masyarakat yang berpotensi menjadi golput.

“Representasi dari keempat katagori ini justru yang harus hadir dalam acara debat. Mereka harus mendapat akses informasi dan pengetahuan yang lengkap dari sumber utama, terutama dari kedua paslon pilpres ketika berlangsung debat,”  ujarnya, Kamis (21/2).

BACA JUGA: TKN: Jagoannya Itu Profesor Doktor Kiai Haji Maruf Amin

Menurut dia, penyelenggaraan dua kali debat lebih mempertontonkan untuk kepentingan kedua paslon kandidat, partai pengusung dan pendukung. “Ini sangat kurang tepat. Harusnya berorientasi kepada kepentingan pemilik hak suara,” katanya.

Emrus berpendapat pendukung tidak perlu hadir dalam debat berikutnya karena mereka hampir sudah bisa dipastikan memiliki pilihan salah satu dari dua paslon pilpres. “Jadi, saya tegaskan, mereka tidak begitu penting hadir,” tegas direktur eksekutif EmrusCorner itu.

BACA JUGA: Debat Capres 2019: Hary Tanoe Sebut Jokowi Kuasai Masalah

Selain itu, lanjut dia, pendukung berpotensi mengganggu jalannya debat karena terpicu rasa simpati atau larut dalam suasana kemeriahan, menunjukkan rasa kurang senang terhadap salah satu elemen dari proses perdebatan.

Emrus melanjutkan, panelis debat haruslah dinamis dan substantif. Dinamis, jelas dia, panelis sejatinya diberikan kesempatan mengajukan tanggapan dan atau pertanyaan lanjutan yang lebih mengerucut, bila jawaban peserta debat kurang substansial atau belum jelas.

Sebab, debat ini sekaligus melihat kapabilitas kandidat dalam merespon setiap persoalan yang terkait materi debat. Sesungguhnya panelis itu representasi wakil rakyat seluruh Indonesia untuk bertanya dan memberikan tanggapan kepada calon pemimpinnya, karena mereka tidak mungkin hadir di ruang debat.

Sementara substantif, lanjut dia, pertanyaan dan atau tanggapan dari panelis harus menukik, tidak boleh normatif, apalagi monoton. “Contoh pertanyaan yang substantif yang menukik, 'Saudara kandidat, mohon dijelaskan road map pemberantasan korupsi di Indoensia, kelak bila saudara memimpin negeri ini lima tahun ke depan',” kata dia mencontohkan.

Menurutnya pula, ketegasan moderator diperlukan untuk menyetop pembicaraan jika peserta debat melewati waktu yang tersedia, dengan batas toleransi maksimal sepuluh detik. Setelah itu, teknologi komunikasi pengeras suara otomatis berhenti.

Keempat, minimal waktu yang diberikan kepada peserta debat tiga menit memberikan pandangan atau jawaban pada setiap setting, agar peserta debat cukup waktu menarasikan pikiran, gagasan dan idenya secara tuntas. “Sangat tidak memadai hanya satu atau dua menit,” jelasnya.

Emrus menegaskan, ketika peserta debat sudah selesai memberikan pandangan atau tanggapan sementara waktu yang tersedia masih ada tersisa, mereka berkewajiban menekan tombol sebagai tanda bahwa dia telah berakhir menyampaikan pendapat. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Karhutla di Debat Capres, Jokowi Dibela Warganet


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler