Penempatan Putra Daerah di BUMN Sesuai Misi Presiden

Jumat, 31 Juli 2020 – 19:38 WIB
Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti ekonomi dari Universitas Maranatha Timbul Hamonangan Simanjuntak ikut menyoroti pernyataan politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu, terkait proses penempatan komisaris dan direksi di perusahaan-perusahaan milik pemerintah.

Menurut Timbul, hal yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah dasar pembentukan BUMN.

BACA JUGA: Jokman Minta Istana Bentuk Tim Awasi Penjaringan Komisaris BUMN

Dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Artinya, BUMN adalah cabang produksi dimaksud, karena posisinya yang strategis dan penting.

BACA JUGA: Semen Indonesia Lakukan Internalisasi Core Values BUMN AKHLAK

"Pasal 33 UUD 1945 adalah aturan dasar konstitusi demokrasi ekonomi, dimana kedaulatan ekonomi ada di tangan rakyat. Bukan di tangan pemilik modal besar, bukan di tangan pelaku pasar bebas yang setiap saat menerkam pelaku ekonomi kecil," ujarnya di Jakarta, Jumat (31/7).

Dalam pemahaman ini, kata Timbul, terkandung suatu moralitas ekonomi yang berakar pada kedaulatan rakyat (demokrasi), dimana kepentingan rakyat lebih utama dari kepentingan orang-seorang.

BACA JUGA: Pernyataan Adian Napitupulu Soal Komisaris BUMN Putra Daerah dan Menteri Dobel Gardan

Dengan demikian, hubungan ekonomi tidak berdasar pada asas individualisme, tetapi pada asas kekeluargaan gotong royong.

Persoalan ekonomi juga dinilai bukan sekadar persaingan, tetapi kerja sama dan gotong royong sebagai ciri khas potensi modal sosial bangsa Indonesia yang suka hidup bergotong-royong.

"Ternyata gotong-royong inilah yang diyakini benar oleh Proklamator Bung Karno, sebagai solusi bagi masalah kemarjinalan rakyat Indonesia," ucapnya.

Sayangnya, kondisi BUMN saat ini sebagian sahamnya sudah dimiliki orang perorang atau kalangan swasta.

Menurut Koordinator Litbang Yayasan Bung Karno ini, kondisi yang ada menyulitkan BUMN mempertahankan independensinya dalam menentukan direksi maupun komisaris. Bahkan, berpotensi mengganggu misi BUMN sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan huruf d UU Nomor 3/2003 tentang BUMN.

Disebutkan, BUMN mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan nasional.

Dalam Pasal 2 huruf b juga menyatakan, maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah mengejar keuntungan.

"Jadi, sebuah kotradiksi, dua hal yang bertentangan yang sulit disejajarkan. Karena keuntungan dalam konteks ekonomi bersinggungan dengan persaingan perusahaan swasta, sementara BUMN adalah sebuah perusahaan negara yang tujuannya mewujudkan kesejahteraan masyarakat," katanya.

Lebih lanjut Master Economics dari Concordia University Montreal Kanada ini menyatakan, konsep keuntungan tidak ditemukan dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945.

Pasal tersebut hanya berbicara tentang hajat hidup orang banyak, bukan orang perorang sebagaimana dalam perusahaan swasta.

"Dalam konteks ini, bukankah negara atau rakyat juga yang menanggung beban bila terjadi kerugian? Lalu dimana posisi pemegang saham perorangan," katanya.
Timbul juga mengatakan, Pasal 15 dan Pasal 27 UU Nomor 3/2003 tentang BUMN mengatur pengangkatan direksi dan komisaris lewar rapat umum pemegang saham (RUPS).

Khusus untuk Komisaris diatur pula, dalam hal ini menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Komisaris ditetapkan oleh menteri.

"Jelas di sini menteri juga dapat menentukan siapa saja yang akan ditetapkannya. Dari kontradiksi di atas, barangkali dapat dipahami kekhawatiran seorang Adian terkait dugaan adanya titipan tenaga komisaris atau dewan direksi," katanya.

Menurut doktor ekonomi fiskal jebolan Fakultas Ekonomi Airlangga ini, bila kekhawatiran Adian dapat dibuktikan dan benar, maka praktik itu bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi, sebagaimana tertuang pada Pasal 33 UUD 1945.

"Fenomena lain yang mengelitik adalah rekrutmen yang menekankan pada tenaga profesional. Tentu tidak salah bila diletakkan pada tata kelola corporate murni swasta yang memang tujuannya semata-mata adalah keuntungan. Tetapi adalah menjadi janggal bilamana profesional menjadi ukuran dominan pada penempatan jabatan-jabatan publik," katanya.

Timbul menegaskan, kalangan profesional adalah orang yang hidup dan berkerja sesuai dengan keahlian di bidangnya dan dibayar sesuai dengan keahliannya.

Jadi, tidak heran kalau orang orang tersebut mengabdi pada profesinya, sulit diharapkan mengabdi pada nusa ddan bangsa yang menuntut nilai nilai moral sebagai patriot.

"Saya kira pengelolaan BUMN yang didasarkan pada sistem ekonomi pasar bebas dengan nilai-nilai liberalnya, sulit diharapkan bisa disandingkan pada nilai-nilai keadilan sosial yang melekat pada semangat Pasal 33 UUD 1945, karena keduanya bertentangan dan antitesis," tuturnya.

Menurut Timbul, dalam konteks ini pemerintah penting konsisten menempatkan BUMN sesuai dengan jalan trisakti. Karena hanya dengan jalan kemandirian tersebut keadilan sosial dapat dicapai.

Dengan semangat itu pula, sangat tepat bila putra daerah yang ditugaskan sebagai pejabat publik untuk memajukan daerahnya. Karena mereka mengetahui dan lebih memahami kebutuhan daerahnya.

"Justru diperlukan penugasan putra daerah yang tinggal di daerah, bukan di Jakarta, sehingga pengawasan lebih baik. Karena mereka akan tahu ke mana saja dan berapa besar produksi yang dihasilkan dan dijual," katanya.

Timbul juga menyebut, penempatan putra daerah pada BUMN-BUMN yang tersebar di berbagai daerah juga menunjukkan pemerataan dan keadilan pada masyarakat daerah.

"Cara itu saya kira juga sesuai dengan misi Presiden Jokowi yang menerapkan pembangunan mulai dari daerah pinggiran. Perlu dipahami, bahwa apa yang dikerjakan saat ini bukan sekadar membangun di Indonesia, tetapi membangun Indonesia untuk kesejahteraan seluruh rakyat," pungkas Timbul. (gir/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler