Penerima Nobel bidang Kedokteran dari Australia, Professor Barry J. Marshall mempromosikan pentingnya pusat penelitian ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Ia menilai Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan sektor penting yang satu ini.Pada tahun 2005 Profesor Barry J. Marshall dan rekannya, J. Robin Warren dianugerahi penghargaan Nobel bidang kedokteran atas temuan mereka yang sangat penting pada tahun 1982. Marshall dan Warren menemukan sebuah bakteri yang kemudian dinamai Heliocobactery pylori (H. pylori), bakteri penyebab salah satu penyakit paling lazim dan penting di dunia, yakni radang lambung. Temuan itu telah mengubah secara radikal paradigma kedokteran kala itu. Sebelumnya, dunia kedokteran menganggap penyebab radang lambung lebih berkaitan dengan hal-hal seperti stres, makanan pedas dan zat asam. Selain meruntuhkan anggapan tersebut temuan mereka juga menciptakan terobosan dalam memberikan pemahaman tentang kaitan antara bakteri H. pylori dengan kanker perut. Marshall yang kini menjadi profesor di University of Western University itu, pekan ini berada di Indonesia ditemani rekannya seorang peneliti senior di Universitas Western Australia juga, Professor Bruce Robinson. Kedua ilmuwan ini datang atas undangan Kedutaan Besar Australia di Indonesia untuk mempromosikan pentingnya pusat kajian Ilmiah. Mereka memberikan kuliah istimewa di Pusat Penelitian Lembaga Eijkman Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Dihadapan para peneliti muda dan mahasiswa yang menghadiri kuliahnya di Lembaga Eijkman Jakarta, Professor Barry Marshal memaparkan pentingnya kehadiran pusat penelitian ilmiah untuk perkembangan pengetahuan dan membantu menyelesaikan masalah kesehatan. Professor Marshall juga menjelaskan sangat terbuka peluang kolaborasi antara ilmuwan Australia dengan Indonesia. Ia mencontohkan Pusat Penelitian Ilmiah yang dipimpinnya The Marshall Center di Universitas Australia Barat yang memfokuskan penelitian pada penyakit infeksi dan pelatihan amat tertarik berkolaborasi dengan peneliti Indonesia. “Kami sangat tertarik untuk melakukan kolaborasi dengan ilmuwan dari Indonesia. Tidak harus selalu mengenai Helicobakteri tapi bisa juga mengenai penyakit infeksi lain atau penyakit tropis. Apalagi Perth dan Indonesia berada di bagian waktu yang sama sehingga akan memudahkan komunikasi,” Kata Profesor Barry Marshall Menurutnya, Dia dan koleganya Profesor Bruce berada di Indonesia untuk menginisiasi kerjasama kolaborasi penelitian mengenai penyakit tropis yang didanai pemerintah dengan peneliti di Indonesia. Dan dia berharap inisiatifnya ini akan mendapat sambutan positif. “The Marshall Center di Perth memiliki kapasitas yang bisa membantu orang-orang di Indonesia yang memiliki keahlian dan ketertarikan terhadap penyakit infeksi dan penyakit tropis untuk berada di perth. Karena satu hal yang kami hadapi saat ini adalah lembaga kami tidak punya orang yang paham mengenai penyakit tropis di Perth. Karenanya akan sangat membantu jika ada pendanaan yang memungkinkan kita bisa melakukan kolaborasi dibidang penyakit tropis,” katanya.
Profesor Bruce Robinson dari Universitas Western Australia menilai Indonesia perlu menambah pusat penelitian ilmiah.
Sementara itu, Professor Bruce Robinson yang fasih berbahasa Indonesia dan juga Dosen Kehormatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menilai Indonesia perlu menambah lembaga penelitian ilmiahnya. “Indonesia sudah punya beberapa pusat penelitian ilmiah yang bagus, Lembaga Eijkman ini salah satu yang terbaik. Tapi Indonesia perlu menambah lagi jumlah institusi seperti ini. Selain masih memiliki banyak masalah kesehatan yang bisa diteliti dan dikembangkan, Indonesia juga memiliki sumber daya manusia yang kuat. Para peneliti Indonesia orangnya pintar-pintar, mereka hanya perlu lingkungan yang baik yang dapat mengarahkan mereka untuk bisa menghasilkan penelitian ilmiah yang hebat,” tambahnya. ”Pusat penelitian ilmiah juga memberi manfaat yang bagus untuk ekonomi Indonesia. Pusat penelitian ilmiah bisa memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat, melatih peneliti muda dan dokter dalam sistem kesehatan di dalam negeri, membangun kapasitas dan mendapatkan grant dari lembaga asing dan itu bagus sekali untuk ekonomi Indonesia,” tambahnya. Dalam ceramah ilmiahnya di Lembaga Eijkman Jakarta, Profesor Barry J Marshall juga menekankan pesan mengenai pentingnya semangat dan sikap tidak mudah putus asa sebagai modal utama peneliti. Ia mencontohkan dirinya sendiri. Sebelum mendapatkam Nobel, beberapa kali hasil riset ilmiahnya ditolak dipublikasikan oleh jurnal ilmiah internasional. Ia juga tidak patah semangat ketika banyak pakar mentertawakan penelitiannya bahwa bakteri dapat hidup di lingkungan zat asam seperti perut. Belakangan kegigihannya diganjar penghargaan Nobel. “Kita semua pasti pernah mengalami penelitian ilmiah kita ditolak oleh jurnal ilmiah, tapi jangan putus asa. Karena bisa jadi Anda benar dan orang lain atau peneliti lain salah. Dan saya beritahu salah satu trik mendapatkan Penghargaan Nobel adalah mempelajari apa yang banyak diteliti oleh orang lain dan cari tahu apa yang terlewat dari penelitian mereka, Anda bisa mendapatkan Nobel dengan cara itu, dan itu pernah terjadi dalam penemuan-penemuan yang diganjar nobel,” tegasnya. Profesor Barry J. Marshal juga menekankan pentingnya peneliti menyeimbangkan hidup antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka dengan menciptakan etika kerja yang berkelanjutan. Karena penelitian ilmiah bukan jenis pekerjaan yang selesai dalam waktu singkat, sebaliknya kadang perlu waktu bertahun-tahun untuk melakukannya. “Kita memang harus melakukan kompromi, tapi berusahalah untuk menciptakan etika kerja yang berkelanjutan. Misalnya jika Anda bekerja 130 persen selama 3 bulan atau 6 bulan pada akhrinya Anda akan merasa sudah tidak tahan lagi dan akhirnya menyerah serta meninggalkan penelitian Anda. Jangan seperti itu!” “Cobalah untuk tetap mempertahankan hal-hal lain dalam kehidupan Anda. Bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu tidak menjamin Anda sukses, tapi berusahalah untuk mengambil jeda. Karena tidak jarang diwaktu jeda seperti ketika mandi, pergi ke pantai, melihat burung, mengambil gambar anda akan mendapat gagasan-gagasan hebat dan Anda juga tidak akan terlalu merasa bersalah karena melewatkan atau mengorbankan hal-hal lain dalam hidup demi penelitian Anda,” pesannya.
BACA JUGA: Seperti Inilah Warga Difabel di Australia Tetap Bisa Mendapat Pekerjaan
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswa Indonesia di Queensland Diskusikan Masyarakat Ekonomi ASEAN